Senja Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) telah berlalu, larut dan terpendam bersamaan dengan SK Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama Dj. 1/253/2007 Tentang Pedoman Organisasi Kemahasiswaan.
Esok kita akan tiba, menyongsong hadirnya pemerintahan mahasiswa model baru, menyelenggarakan pemilihan umum mahasiswa, melalui jurusannya untuk memilih “Ketua Senat Mahasiswa” IAIN Walisongo.
Dalam momentum penting itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan; Pertama, perhatikanlah mahasiswa yang sebagian besar mendambakan Walisongo yang ideal, iklim intelektual yang dinamis dan nuansa belajar yang kondusif.
Mereka selalu bertanya, di mana idealisme Walisongo yang ketika pertama menginjakkan kaki di kampus terus digembor-gemborkan? Mereka marah, kenapa Walisongo sesuai nama yang disandangnya yang diharapkan menjadi pusat Studi Islam di Indonesia justru menjadi “kuburan” calon intelektual Muslim sendiri.
Kedua, keadaan di sekitar kita, ada persaingan yang tidak sehat antara berbagai golongan, ujung-ujung yang dituju adalah kursi tertinggi mahasiswa, memaksakan kehendak kelompoknya, dengan kata lain perhatikan otoriterianisme rezim ala mahasiswa. Yang selalu mengabaikan kepentingan mahasiswa.
Lihatlah, budaya otoriter, primordial dari kelompok manapun, baik mayor maupun minor bak jamur di musim hujan. Imbasnya, kita selalu kerdil layaknya singa yang hanya mengaum di kandangnya sendiri. Tanpa berani mengaum di kandang orang lain.
Ketiga, dengarkanlah rintihan tangis para mahasiswa, yang tak mengerti apa-apa. Mereka hanya paham kuliah, dosen kosong, jajan, pacaran, dan pulang pergi kos kampus. Mereka yang hanya mengejar Indeks Prestasi (IP) tinggi, cepat lulus, dapat kerja dan lupa akan tanggung jawab sosialnya sebagai mahasiswa. Tapi mereka telah menjadi korban politik sesama teman mahasiswa yang terlalu genius.
Keempat, introspeksilah. Kita adalah mahasiswa Perguruan Tinggi Islam yang semestinya menjadi lokomotif gerakan moral, suri tauladan Perguruan Tinggi lain. Bukannya hanya “mahasiswa” yang hanya pintar berargumentasi tanpa dibarengi tindakan positif aplikatif.
Dewan mahasiswa mau ke mana kau? Untuk dijadikan alat untuk berpijak mungkin ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan, untuk menjadikan Walisongo yang ideal. Paling tidak, menjadikan Walisongo sebagai “mesin pencetak” pemimpin-pemimpin bangsa yang bermoral, berdedikasi tinggi, berilmu, beriman dan beramal.
Pertama, dalam kondisi “kemandulan intelektual”, krisis karya dan kegersangan kreativitas. Sudah selayaknya Walisongo membenahi diri. Optimalisasi fasilitas, seperti sarana perpustakaan, baik di fakultas manapun di institut, gedung yang ada, dosen yang memadai, serta perbaikan manajemen sistem belajar mengajar adalah sarana yang sangat penting untuk menghidupkan Walisongo.
Kedua, jelaskan bahwa Walisongo punya banyak Guru Besar seperti Prof. Abdurrahman Mas’ud, Prof. Abdul Djamil, Prof. Amin Syukur , Prof. Muhibbin, Prof. Mujiyono, Prof. Muchojjar, Prof. Muslich Shobir, dan yang tak bisa disebutkan satu persatu. Mereka tidak hanya Guru Besar yang cukup bangga dengan titlenya, tetapi lebih dari itu, mereka adalah profesor yang sudi turun gunung untuk mengajar mahasiswanya sekalipun cuma satu.
Ketiga, buktikan. Bahwa Walisongo siap bersaing, di masa mendatang, mahasiswanya adalah putra-putri terbaik di negeri ini, sehingga tidak perlu berkecil hati, rendah diri apalagi sampai harus bersembunyi dari realitas yang semakin bebas, global dan penuh tantangan.
Buktikanlah bahwa Walisongo adalah Perguruan Tinggi “plus” yang gentle dengan era transparansi, demokratisasi, primordialisme kelompok, siap menentang segala bentuk kedzaliman, ketidak jujuran dan kebohongan-kebohongan.
Keempat, tampilah sebagai pelopor Perguruan Tinggi, yang tidak hanya menghandalkan kebesaran nama belaka. Tetapi Perguruan Tinggi yang lebih melihat sesuatu yang bijak, yang hanya melihat pada apa bukan siapa. Yang hanya mengatakan “inilah saya”, sehingga diharapkan mampu menjadi Walisongo yang bargaining power di hadapan siapa saja dan apa saja.
Tegurlah mahasiswa yang tidak pernah tahu kedudukannya, mereka yang lupa, yang tidak dedikasi, loyalitas, ghirah untuk kemajuan Walisongo. Berikan mereka contoh konkret, apa yang seharusnya dikerjakan.
Dewan mahasiswa apa yang kau cari? Kalau tidak hal yang berikut ini:
Pertama, memihak mahasiswa Walisongo dengan jelas, gamblang, dan berani. Dalam artian memperjuangkan suara-suara mereka, aspirasi mereka yang hanya sering ditampung (diagendakan), menyelesaikan setiap problemtika mereka yang dihadapi. Yaitu, dengan tegas mengambil arah keijakan yang terbaik bagi semuanya.
Walisongo adalah milik mahasiswa, maka siapapun yang berani mengabaikan kepentingan mahasiswa atau justru mengkhianati amanah mahasiswa, dia patut ditindak tegas. Kedaulatan ada di tangan mahasiswa.
Kedua, memihak segala sistem yang sekiranya lebih baik untuk kepentingan mahasiswa. Karena itu dewan mahasiswa harus memperjuangkan transparansi dan demokratisasi di Walisongo, siapa kalau bukan anda?.
Ketiga, kritiklah birokrat atau dosen yang seringkali mempersulit kepentingan mahasiswa, yang dikit demi sedikit membelenggu aktivitas mahasisawa ntuk mengembangkan potensinya. Birokrasi, dosen adalah untuk melayani mahasiswanya sesuai hak dan kewajibannya, bukan sebaliknya.
Keempat, perjuangkan mahasiswa pada titik idealnya. Yaitu Walisongo yang penuh keteduhan, ketenangan bagi mahasiswa maupun civitas akademika. Yaitu Walisongo yang menjadi ‘ladang emas’ bagi siapa saja yang hendak mengembangkan potensi intelektualitasnya. Bukan Walisongo menjadi ‘kuburan’ bagi mahasiswa-mahasiswanya yang berpotensi.
Akhirnya, selamat berjuang sampa titik darah penghabisan karena jalan masih panjang kawan. Semoga berhasil.
Wassalam.