Membaca buku terkadang dianggap sebagai sebuah aktivitas yang membosankan, terlebih ketika membaca buku-buku yang berisikan materi berat, seperti teori filsafat eksistensialisme Nietzsche.
Dalam konteks ini, masalah utamanya justru tidak terletak pada kerumitan pemikiran Nietzsche, tetapi ketertarikan dari manusia terhadap membaca sesuatu.
Konsep membaca sebagai tradisi intelektual adalah upaya untuk menjadikan membaca sebagai dialektika pikiran. Dialektika pikiran adalah upaya untuk membangun imajinasi terhadap dunia yang berbeda dengan dunia sebagaimana adanya. Contohnya, ketika Rocky Gerung mengatakan bahwa “hampir semua pendiri bangsa ini adalah Marxis, tetapi mereka bukan Leninis”. Perkataan tersebut dapat ditafsirkan bahwa pendiri bangsa ini berkutat pada pemikiran Humanistik Marx sebagai perlawanan atau antitesis dari kebudayaan feodalistis masyarakat Hindia-Belanda.
Begitu juga dengan Tan Malaka yang menulis “Madilog” dengan tujuan untuk mengubah pola pikir masyarakat yang pada saat itu terlalu mistik. Buku yang ditulis dengan sentuhan materialisme dan sains sebagai metode terlihat hanya sebagai imajinasinya terhadap masyarakat baru, sampai Malaka Project mencoba untuk merealisasikannya.
Menjadikan literasi sebagai budaya di Indonesia merupakan perlawanan terhadap kultur yang sudah mapan dan menjadi tameng dari dampak globalisasi.
Ketika konsep yang sudah kokoh dan berdiri lama, tetapi diketahui secara fakta adanya kekeliruan, maka dengan membaca buku seseorang dapat merekonstruksi ulang konsep tersebut.
Menurut laporan dari Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Indonesia mendapatkan nilai budaya literasi sebesar 57,4 poin pada 2022.
Nilai tersebut tercatat meningkat 5,7% dibandingkan tahun sebelumnya yang berada dikisaran 54,29 poin. Hal ini merupakan kabar baik, meskipun peningkatannya tidak secara signifikan.
Secara statistik, kenaikan angka 5,7% merupakan peningkatan yang patut diapresiasi, tapi jika dibandingkan dengan negara lain di Asia, angka 5,7% adalah bukti bahwa budaya literasi di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup lambat.
Salah satu faktor yang menyebabkan literasi sulit untuk menjadi sebuah kebudayaan di Indonesia adalah perkembangan teknologi, terlebih adanya Artificial Intelligence (AI) dan media sosial sebagai produk utama dari globalisasi.
Perkembangan teknologi di satu sisi memudahkan akses terhadap informasi, tetapi di sisi lain menciptakan ketergantungan dan pergeseran orientasi kenyamanan. Kenyamanan dalam arti menjadikan media sosial sebagai prioritas dalam kehidupan.
Hal itu menghendaki lahirnya dualisme media sosial, bahwa antara realitas dunia dan realitas virtual terdapat sekat tipis yang kapan saja bisa rusak, hingga akhirnya meluruhkan antara dua realitas tersebut. Konsekuensi harus ditanggung oleh masyarakat dengan harus berkutat pada hal-hal yang tidak penting hingga menjadi tradisi yang sulit untuk dihilangkan.
Melihat dunia lewat membaca
Sebuah pepatah yang berbunyi “membaca membuka jendela dunia” saat ini menjadi ungkapan yang nyata dan tidak dilebih-lebihkan. Membaca buku bukan hanya menjadikan teks sebagai objek, melainkan cenderung pada mengobjekkan konteks.
Frasa “jendela dunia” jika diinterpretasikan berarti sebagai world view. Ketika manusia mendapatkan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman dan hanya melakukan aktivitas sama secara berulang-ulang, keluasan pikiran manusia tersebut hanya sebatas pada ruang sempit dan terkungkung atas pola pikirnya sendiri yang sudah merasa cukup.
Jika dilihat dalam sudut pandang Antroposentris, pentingnya membaca buku memberikan kekuatan yang luar biasa pada “penglihatan manusia”. Seakan mampu melihat dan memahami apa yang orang lain tak dapat melihatnya.
Contohnya, ketika kita membaca tulisan Plato yang berjudul “Republik”. Plato membuat sebuah konsep negara ideal yang harus dipimpin oleh seorang filsuf karena filsuf adalah seorang manusia yang bertindak dengan bijaksana. Jika dilihat dari latar belakang ide terciptanya “Republik” adalah karena saat itu Plato ingin mengkritik negara yang tidak memberikan keadilan bagi masyarakat.
Penerapan konsep negara ideal menurut Plato dalam kehidupan saat ini hanya sebatas menjadikannya sebagai acuan untuk melakukan perbandingan dengan sistem negara kita saat ini. Kita tidak akan mengklaim harus ada perubahan sistem negara yang dipimpin oleh seorang filsuf seperti yang dikatakan Plato dalam tulisannya.
Sikap kritis terhadap ide “Republik”-nya Plato akan membuat kita tergugah untuk mencari konsep pemikiran lain tentang negara, sehingga konsepsi yang dibangun tidak hanya sebatas pada pemikiran Plato.
Hal serupa dilakukan oleh Penulis dari Rusia, Leo Tolstoy yang secara subjektif menyadari bahwa kehidupan adalah kesia-siaan. Sebuah pemikiran yang menghendaki dirinya untuk mencari jawaban atas pertanyaan siapa manusia itu? Dan “apa tujuannya hidup di dunia?”
Dalam bukunya yang berjudul “A Confession”, diceritakan bahwa ia sedang berupaya mencari makna kehidupan hingga ia melakukan pencarian dalam ilmu sains, tetapi tidak menemukannya.
“Mencari makna kehidupan menggunakan rasionalisme adalah bunuh diri,”
Tolstoy tidak berhenti pada ilmu pasti, ia bahkan berpetualang dan menyelam ke dalam pemikiran Yunani kuno, Buddha, Sulaiman, dan Schopenhauer. Ia mengamati lingkungan sekitarnya tentang bagaimana manusia hidup, kemudian menyimpulkan ada tiga jenis manusia dalam menyikapi kehidupan.
Pertama, mereka yang tidak menyadari bahwa hidup adalah kesengsaraan dan menjalaninya tanpa mencari makna kehidupan. Kedua, mereka yang menganut epikureanisme memandang bahwa manusia harus memanfaatkan apa yang telah ada. Ketiga, mereka yang menyadari bahwa hidup adalah sebuah lelucon tetapi mereka tetap menjalankan kehidupan sebagaimana adanya dan takut akan kematian.
“Mengapa hidup, kapan mungkin tak hidup? Apakah hanya aku dan Schopenhauer yang cukup arif untuk memahami kesia-siaan dan kemalangan hidup?”
Ungkapan tersebut memberikan indikasi bahwa Tolstoy menggunakan pemikiran Schopenhauer untuk mengafirmasi kemalangan hidup yang dialaminya.
Dalam hal ini, membaca memiliki peran untuk menambah referensi ataupun perbandingan lain dalam mendapatkan hasil yang lebih pasti. Seperti halnya Plato yang mengkritik sistem negara dalam “Republik” yang akhirnya menjadi bahan bacaan saat ini tentang sistem kenegaraan. Begitu juga dengan Tolstoy yang terus membaca buku dan mencari kepastian untuk menjawab semua pertanyaan dan kegelisahan dalam dirinya sendiri.
Penulis: Muhammad Alfarizy
Editor: Gojali