September menjadi bulan yang cukup sakral dan layak dikenang oleh masyarakat Indonesia. Sebab beberapa peristiwa dan tragedi besar hingga menelan korban jiwa terjadi di bulan ini. Transisi dari orde baru ke reformasi menjadi sebuah momentum dan sejarah awal Indonesia saat mencoba menjadi negara yang mengimplementasikan ideologinya dengan benar.
Kasus Semanggi 2 menjadi salah satu tragedi yang memilukan dan traumatis bagi demokrasi Indonesia. Sekali lagi, HAM di Indonesia ditindas dan dilibas oleh oknum aparat yang menyalahi wewenangnya.
Puncaknya pada Jumat, 24 September 1999 di mana saat itu demokrasi Indonesia masih berada dalam keadaan tidak stabil pasca gejolak antara pemerintah, rakyat, dan mahasiswa di tahun 1998. Demonstrasi besar kembali terjadi antara mahasiswa, masyarakat, dan para aktivis dengan pemerintah dalam rangka menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Saat itu RUU PKB dikhawatirkan menjadi pegangan bagi Tentara Negara Indonesia (TNI) untuk bertindak mandiri dalam operasi militer. Hal tersebut sangat ditentang oleh masyarakat karena ditakutkan adanya penyalahgunaan kekuasaan.
Demonstrasi berjalan dengan tenang saat itu, sekitar 300 demonstrasi sedang beristirahat dan mengisi perut di sekitaran Universitas Atma Jaya Jakarta. Tidak disangka, Universitas Atma Jaya kembali menjadi saksi atas keganasan aparat bersenjata.
Pukul 20.30 ketenangan mulai hilang, aparat bersenjata yang diketahui dari TNI datang dengan membredel senjata ke arah demonstran yang sedang beristirahat. Sontak kedatangan TNI membuat demonstran berlarian.
September membawa tragedi
Yap Yun Hap, Mahasiswa Teknik Elektro Universitas Indonesia (UI) menjadi salah satu korban Semanggi II dan ganasnya aparat bersenjata.
Yap Yun Hap menjadi bukti bahwa orang Tionghoa sebagai minoritas tidak selalu apatis dan tidak peduli terhadap bangsa. Dirinya menjadi mahasiswa yang bertanggung jawab akan gelar mahasiswanya, peka terhadap sekitar, dan sangat berdedikasi kepada masyarakat.
Ibu Yap Yun Hap, Ho Kim Ngo sempat memiliki kekhawatiran ketika Yap Yun Hap ikut dalam demonstrasi. Pasalnya tahun 1999 dipercaya menjadi tahun yang penuh kesialan menurut kepercayaan Tionghoa. Namun, Yun Hap dengan dedikasi dan kegigihannya selalu merasa terpanggil untuk ikut serta bersama masyarakat mencari keadilan.
Suara senapan yang terdengar begitu banyak ternyata salah satunya mengenai Yap Yun Hap. Punggung kirinya tertembus peluru hingga menyebabkan dirinya tewas.
Keluarga Yap Yun Hap yang menunggu kepulangannya karena sudah berjanji akan pulang pada pukul 18.00 akhirnya mendapatkan kabar di pukul 00.30, sayangnya bukan kabar baik yang diterima Ibu Yap Yun Hap, tetapi kabar duka bawa Yap Yun Hap sudah meninggal karena tertembak.
Ho Kim Ngo dengan kesedihannya mendatangi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Ketika di RSCM, jasad Yap Yun Hap juga sempat akan diambil oleh aparat kepolisian untuk menghilangkan bukti. Namun, berkat sosok Yap Yun Hap sendiri semasa perkuliahannya, banyak mahasiswa bersama masyarakat umum, aktivis, dan pers yang membantu melindungi jasadnya agar tidak diambil oleh aparat.
Dari buku Saatnya Korban Bicara, Ho Kim Ngo seakan merasa bermimpi dan memalangi nasib keluarganya sendiri dengan mengatakan kenapa bukan anak yang mengantarkan orang tuanya ke kubur, malah orang tua yang mengantarkan anak ke tempat terakhir peristirahatannya.
Ho Kim Ngo juga mengatakan Yap Yun Hap sempat bercerita bahwa tempatnya kuliah seperti hutan, pohonnya banyak dan besar, “kalau saya wisuda Mama bisa lihat”. Namun, mimpinya harus gugur karena peluru dari pelaku yang belum tertangkap.
Masa kegelapan aparat bersenjata
Aparat bersenjata, baik polisi ataupun TNI, memiliki track record yang buruk bagi masyarakat. Dwifungsi TNI yang dulu masih bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menjadi salah satu topik lain yang didemonstrasikan oleh Yap Yun Hap dan teman-teman demonstran lainnya.
Belum kering kesedihan korban tragedi Trisakti di Mei 1998 dan Semanggi I di November 1998. Di September 1999 tragedi kembali terjadi di Semanggi dan Universitas Atma Jaya sebagai saksinya, di mana terdapat korban 11 orang meninggal dan 200 demonstran luka-luka.
Hasil yang didapatkan dari Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) di bawah pimpinan Hermawan Sulistyo menyebutkan bahwa Yap Yun Hap tertembak oleh tentara sekitar pukul 20.40 sebelum sampai di rumah sakit. Salah satu bukti yang disampaikan oleh Sulistyo adalah karena tidak adanya mobil yang melintas saat itu kecuali mobil ABRI.
Kasus ini menambah buruk citra angkatan bersenjata Republik Indonesia. HAM kembali dikoyak oleh pihak yang menyalahgunakan kekuasaan. Sulistyo bersama TPFI tidak mendapatkan hasil yang signifikan karena polisi saat itu juga tidak mau mengusut dengan serius penembakan di kasus Semanggi II karena mengetahui keterlibatan anggota ABRI yang sama-sama menjadi anggota pemegang senjata sekaligus sebelumnya memang memiliki hubungan yang kurang baik dengan institusi kepolisian.
Hingga 25 tahun lamanya pembunuh Yan Yun Hap dan korban meninggal lainnya belum juga tertangkap. Pemerintah menambah rapor merah karena pelanggaran HAM yang tidak terselesaikan. Menumpuknya kasus pelanggaran HAM yang tidak terselesaikan menjadi bukti pemerintah saling menjaga dan melindungi diri karena para pelakunya berasal dari institusi pemerintahan sendiri.
Kala itu DPR membentuk Pasukan Khusus (Pansus) Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (TSS) untuk menyelesaikan dan mencari bukti kebenaran adanya kasus pelanggaran HAM berat. Namun, hasilnya sangat mengecewakan, Pansus TSS menyebutkan tidak adanya bukti pelanggaran HAM berat.
Bahkan hasil dari Pansus TSS sempat dibawa dalam Sidang Paripurna DPR yang hasilnya juga mengecewakan. Dari 10 partai di parlemen, hanya 3 fraksi partai yang mengiyakan adanya pelanggaran HAM berat dan 7 fraksi partai lain berpendapat sebaliknya.
Sementara Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM menyebutkan adanya pelanggaran HAM berat yang melibatkan 50 perwira polisi ataupun TNI yang terlibat dalam kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
Namun hasilnya tetap nihil, hingga saat ini kasus pelanggaran HAM berat tidak menemukan titik terang. Padahal dalam kasus pelanggaran HAM berat, tidak berlaku daluwarsa, yang mana kasus tersebut dapat terus diproses dan diadili walaupun sudah terjadi di masa lampu, sebagaimana Pasal 46 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Gojali