Di suatu pagi yang cerah, ketika mentari tak sesedih Indonesia hari ini, kudengar Rocky Gerung lantang berbicara perihal kedunguan pemerintah Indonesia. Suara itu bersumber dari smartphone, salah satu teman saya yang sedang asik berselancar di YouTube. Selang beberapa menit, dirinya mulai menuliskan story WhatsApp tentang kutipan dari ucapan pembicara yang dianggap baik.
Di lain waktu, di samping sebuah aula kampus terdapat beberapa mahasiswa baru yang sedang diberikan pengarahan dan menirukan apa yang diminta mahasiswa lama. Berbagai seruan tentang mahasiswa seringkali dilayangkan di tempat itu.
Mereka yang merasa dirinya sebagai pembela keadilan, kebenaran, kaum buruh atau pembela lainnya yang memiliki anggapan jika dirinya merupakan reperesentasi mahasiswa yang seharusnya. Terlalu percaya diri, memang.
Para penyembah UU No. 9 Tahun 1998 tentang kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, selalu dipegang dengan erat oleh mereka yang mengatasnamakan “keadilan”. Ketika kita menengok tahun 2019 lalu, muncul akronim lain dari Ketua BEM UI (2019-2020) Manik Margamahendra, yang dengan secara paksa menjelmakan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi menjadi Dewan Pengkhianat Rakyat.
Manik menjadi sosok bak Satria Piningit yang turun dari langit dan mencoba memperjuangkan kesejahteraan kala itu. Namun, kini ramai menjadi perbincangan setelah beredarnya berita tentang Manik Margamahendra mantan aktivis yang kini maju menjadi calon legislatif DPRD Jakarta.
Hal itu lantas menjadi sorotan publik, pro-kontra tak kunjung meredam atas peristiwa tersebut. Masyarakat terlihat sudah kecewa dengan jalan akhir para kesatria yang ternyata malah mengambil jalan untuk masuk ke dalam dunia politik. Sejak zaman orde lama hingga reformasi, tidak sedikit para mantan aktivis yang dulu sorak ramai mengawal isu masyarakat, tapi ketika telah menduduki kursi yang mereka tentang waktu itu, mereka malah tidak berbuat apa-apa dan seakan cerminan yang mereka perjuangkan.
Fenomena diatas mulai mengaburkan pandangan masyarakat terhadap esensi mahasiswa melakukan demonstrasi. Organisasi Ekstra kampus yang menjadi tempat naungan para aktivis juga dirasa memiliki hubungan emosional dekat dengan partai politik di Indonesia. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Karim Suryadi, seorang Guru besar komunikasi politik UPI di tahun 2020, yang menyatakan bahwa beberapa organisasi ekstra kampus memiliki hubungan emosional atau berafiliasi dengan partai politik Indonesia.
Menurut sejarahnya, saat menjelang pemilu 1955, partai-partai politik saat itu melakukan manuver dengan masuk ke lingkup kampus dan mendirikan organisasi ekstra kampus yang masih eksis hingga kini.
Hal miris ketika para aktivis yang seharusnya menjadi menjadi pengawas pemerintah, tapi realitanya malah ikut terjerat kasus tindak pidana. Maling teriak maling, itulah kesan yang akan mereka ambil. Ketika mahasiswa ini melakukan demonstrasi dengan meneriakan keadilan, kesejahteraan, dan banyak yang lainnya, itu akan menjadi omong kosng belaka. Karena di tubuh mereka sendiri masih banyak permasalahan yang tidak mampu dibenahi.
Apakah para aktivis benar-benar mencoba untuk membela keadilan? Ataukah mereka hanya ingin menaikan elektabilitas belaka?
Hal itu kembali lagi pada marwah masing-masing aktivis mahasiswa. Idealis yang mereka punya bisa saja tergantikan dengan mudah oleh tawaran kursi setelahnya. Seperti yang pernah ditekankan Tan Malaka: “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda”. Benar saja, banyak orang ketika melepas gelar mahasiswa, idealis yang melekat di tubuhnya juga secara otomatis akan ikut terlepas pula.
Penulis: Tegar Ezha Pratama