Mereka membawa senjata. Pakaian perlindungan nomor satu. Menembak tanpa ampun. Berjalan dengan memandang remeh lawan yang bersimbah darah. Dihadapan seluruh dunia, mereka mengaku sebagai korban yang melawan.
Kontroversi di media sosial tak terelakkan. Berbagai pro kontra terus-menerus menghiasi timeline di seluruh platform. Publik pun seperti diadu domba, membela kemanusiaan berdasar dengan banyaknya korban yang berjatuhan atau membela kemanusiaan berdasar dengan siapa yang mulai menyulut api.
Peristiwa genosida di Palestina adalah bukti nyata kekejaman dan kebiadaban Israel. Tak pandang bulu siapa lawan di depannya, mereka akan terus membunuh dan membunuh.
Kementerian kesehatan Gaza menyebutkan lebih dari 36.000 warga Palestina telah tewas dalam perang udara dan darat Israel di seluruh Gaza, dengan 53 di antaranya tewas dalam 24 jam terakhir. Israel melancarkan serangannya setelah pejuang Hamas menyeberang dari Gaza ke Israel Selatan pada 7 Oktober 2023, menewaskan 1.200 orang dan menculik lebih dari 250 orang, menurut penghitungan Israel.
Konflik Palestina-Israel telah berlangsung lebih dari satu abad yang lalu. Pada tahun 1917, Deklarasi Balfour mendukung pendirian rumah nasional Yahudi di Palestina, mendorong migrasi Yahudi dari berbagai belahan dunia ke tanah Palestina. Selama periode ini, ketegangan antara komunitas Yahudi dan Palestina tumbuh.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengambil alih mandat atas Palestina yang sebelumnya dikuasai oleh Inggris. PBB membagi wilayah tersebut menjadi dua negara, satu untuk orang Arab Palestina dan satu untuk bangsa Yahudi. Pembagian tersebut diadopsi sebagai Resolusi PBB Nomor 181 pada tahun 1947.
Palestina menolak rencana tersebut karena rencana tersebut memberikan sekitar 56% wilayah Palestina kepada negara Yahudi, termasuk sebagian besar wilayah pesisir yang subur. Pada saat itu, warga Palestina memiliki 94% wilayah bersejarah dan mencakup 67% populasinya. Perang Palestina-Israel pertama pada tahun 1948 dimenangkan oleh Israel, mengakibatkan pembentukan negara Israel dan pengungsian rakyat Palestina, dengan sekitar 750.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka. Keturunan mereka hidup sebagai 6 juta pengungsi di 58 kamp pengungsi di seluruh Palestina dan di negara-negara tetangga seperti Lebanon, Suriah, Yordania, dan Mesir.
Lalu, apakah genosida sejak tanggal 7 Oktober 2023 lalu pantas disebut dengan gerakan korban yang melawan, setelah adanya perintah gencatan senjata dari Mahkamah Internasional, pengadilan tertinggi PBB, untuk menghentikan serangan tersebut?
Dunia memang tak akan melupakan penderitaan bangsa Yahudi selama Perang Dunia II, tetapi yang sama pentingnya dengan hal tersebut adalah dunia ingin menghindari hal serupa terulang. Untuk itu, dunia tak ingin lagi melihat ada rezim atau negara yang menjustifikasi kekerasan atas nama apa pun, untuk menghancurkan kelompok masyarakat yang dianggap musuh mereka.
Namun, dari kejadian genosida yang diluncurkan oleh Israel justru menciptakan dua kubu keberpihakan antara Israel dan Palestina. Indonesia termasuk salah satu negara yang mendukung Palestina. Bahkan, beberapa waktu lalu Indonesia telah mengirim sebanyak 51,5-ton bantuan kemanusiaan ke Palestina.
Salah satu negara yang memberikan dukungan besar berupa aksi genosida oleh Israel adalah Amerika Serikat (AS). Tak tanggung-tanggung, AS segera mengirim bala bantuan setelah Hamas, tentara Palestina menyerang Israel beberapa waktu lalu.
Mengutip US News, bala bantuan yang dikirim berupa kapal induk canggih dan terbaru dari angkatan laut, yakni USS Gerald R. Ford. Selain itu, ada juga amunisi dan sejumlah peralatan canggih lainnya untuk membantu Israel melancarkan serangan ke Gaza.
Bertepatan dengan Hari Holocaust, Paus Fransiskus pada 24 Januari lalu, menyampaikan pesan perdamaian dan seruan pengakhiran kekerasan serta perang di dunia, khususnya Ukraina dan Gaza.
Pemegang Kedaulatan Negara Kota Vatikan, Paus Fransiskus, menuturkan bahwa ingatan dan kutukan atas pemusnahan jutaan warga Yahudi serta kaum beragama lainnya yang terjadi pada paruh pertama abad silam dapat menyadarkan semua orang bahwa logika kebencian dan kekerasan tak akan pernah bisa dibenarkan karena menyangkal rasa kemanusiaan.
Dunia tak boleh berhenti mengupayakan pengakhiran genosida di Palestina. Namun, ironisnya Israel menolak menyamakan keadaan Palestina saat ini di mana ratusan ribu warga sipil tewas yang mayoritas anak-anak dan wanita, sebagai holocaust dan genosida.
Raz Segal, profesor holocaust pada Stockton University di AS, dalam laman The Guardian menyebutkan pelaku genosida selalu memandang korbannya sebagai orang jahat, tetapi melihat dirinya sendiri sebagai orang yang benar, sama halnya yang dilakukan oleh Israel kepada Palestina.
Berbagai upaya kritik yang dilakukan publik diacuhkan oleh Israel dan negara-negara yang berada di pihaknya. Walau demikian, upaya-upaya berupa boikot terhadap produk yang berafiliasi mendukung Israel telah memunculkan feedback yang diharapkan oleh para pendukung kemanusiaan Palestina. Hal ini telah membukakan mata dan memberikan pencerahan kepada dunia.
Salsabila Alifia