Dunia maya sempat diramaikan dengan munculnya pembahasan revisi Rancangan Undang-undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dianggap menyenggol wacana kebebasan Pers. Akibatnya, hal tersebut berhasil memicu kritik dari berbagai pihak.
Empat belas tahun berselang, setelah melewati berbagai gejolak penolakan dan kritik, draft RUU Penyiaran tercatat sejak 27 Maret lalu sudah sampai pada tahap proses di Badan Legislatif (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI).
Namun, gelombang penolakan ternyata tak pernah usai. Upaya revisi RUU Penyiaran dinilai oleh banyak praktisi media sebagai bentuk kontrol hingga pembungkaman kaya jurnalistik. Bulir yang menjadi kontroversial ada pada pasal 50 B ayat 2 huruf (C) yang didalam-nya termuat aturan larangan adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi.
Dalam wawancara bersama Metro TV, Dewan Reaksi Media Group, Saur Hutabarat mengatakan bahwa yang menyusun rancangan tersebut tidak mengerti jurnalisme. Menurutnya, yang namanya investigasi jurnalisme haruslah ekslusif. Jika ada pelarangan, alasan apapun yang di lontarkan hanya akan menunjukan kedangkalan berpikir dalam melihat jurnalistik.
Menurut Johny Herfan dalam penelitiannya yang berjudul “Peliputan Investigasi, Profesionalisme Wartawan Investigasi dan Interplay Antara Struktur Dan Agency” (2015), peliputan investigasi ialah sebuah kegiatan jurnalisme yang menggunakan metode investigasi dalam proses penggalian informasi. Asumsinya, peliputan investigasi dilakukan oleh wartawan untuk mengungkap skandal atau kasus tertentu yang sengaja disembunyikan oleh pihak berwenang atau belum terkuak sebagai target peliputan investigasi.
Oleh karena itu, jurnalistik investigasi menjadi bentuk jurnalisme paling tinggi tingkatannya. Maka dengan adanya RUU Penyiaran yang melarang jurnalistik investigasi ini dianggap menjadi bentuk pengebirian pada salah satu tombak pilar demokrasi, yakni kebebasan pers.
Pasal tersebut juga menjadi bentuk kemunduran dari kemerdekaan pers sendiri. Lantaran, pasal tersebut bertabrakan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers di Indonesia yang mana disebutkan bahwa pers memiliki kebebasan dalam hal mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi.
Tumpang tindih tidak berhenti di sana, dalam hal mengatur sengketa jurnalistik, terdapat pasal dalam UU dan RUU yang beririsan. Pada UU Nomor 40 tahun 1999 menyebut bahwa penyelesaian sengketa ditangani oleh Dewan Pers, sementara pada RUU Penyiaran pasal 42 ayat 2 tertera bahwa sengketa jurnalistik diurus oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu dalam konferensi persnya, Selasa (14/5/2024) mengatakan bahwa hanya Dewan Pers yang memiliki mandat penyelesaian karya jurnalistik. Dirinya bahkan menolak keras adanya RUU Penyiaran dengan alasan harus adanya harmonisasi antara satu Undang-undang dengan yang lain agar tidak terjadi tumpang tindih.
Semangat Pembungkaman
Upaya penjegalan kebebasan pers bukan lagi hal yang mengejutkan. Pada masa orde baru, praktik jurnalis juga mendapat pembatasan dan pengekangan. Kondisi yang tak jauh berbeda dengan saat ini, yakni adanya pengawasan dalam mekanisme penerbitan media massa melalui rezim Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Di mana, media manapun yang melakukan kritik pada pemerintah akan mendapat hukuman.
Di rezim Jokowi-Ma’ruf, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mencatat sedikitnya ada tiga jurnalis telah dipenjarakan. Salah satunya ialah Muhammad Asrul, seorang jurnalis yang dijatuhi vonis penjara tiga bulan oleh Pengadilan Negeri Palopo, Sulawesi Selatan setelah berusaha membongkar dugaan kasus korupsi di Palopo lewat tiga tulisannya pada tahun 2020 silam.
Berkelindan dengan kebebasan pers, bebas dalam arti memang bukanlah sesuatu yang absolut dan dapat dilakukan secara liberal. Tetap harus ada kesadaran akan pentingnya penegakan norma etika, profesionalisme, dan supremasi hukum. Namun, adanya pembatasan-pembatasan secara hukum dalam proses jurnalistik yang mencekik pergerakan pers juga dapat menggoyahkan kestabilan kebebasan pers di Indonesia.
Berdasarkan Reporters Sans Frontières (RSF), Indonesia mengalami penurunan nilai indeks kebebasan pers Dunia dari tahun 2023 54,83 menjadi 51,5 pada tahun 2024. Saat ini, Indonesia menempati peringkat ke 111 dari 180 negara dalam indeks Kebebasan Pers Sedunia.
Kebebasan pers harus dipertahankan dan ditegakkan. Sebagai negara yang menganut demokrasi, integritas kebebasan pers harus dijaga. Dengan tetap menjunjung kode etik dan standar kualitas jurnalistik, profesional, serta bebas dari interferensi dan tekanan dari pihak mana pun, baik pemerintah, politik, bisnis, maupun kelompok tertentu.
Eka Rifnawati