
Keadilan menjadi sebuah konsepsi yang didamba-dambakan oleh banyak orang. Tidak berwujud dan juga begitu abstrak, tapi keberadaannya sangat memberikan dampak yang besar bagi semua orang.
Pada tahun 2012, Baiq Nuril hampir masuk ke dalam bui setelah dirinya mencoba membongkar tindakan kekerasan seksual yang ia terima di tempat kerjanya. Seorang nenek berusia 63 tahun bernama Asyani mendapatkan vonis satu tahun penjara dengan 15 bulan masa percobaan dan juga denda sebesar 500 juta rupiah setelah dirinya dianggap mencuri kayu milik Perhutani, kemudian yang paling terbaru seorang remaja yang divonis satu tahun pembinaan karena membela diri ketika dirinya hampir dibegal.
Kasus di atas menunjukan bagaimana kedilematisan sebuah keadilan. Dianggap cukup bias karena seorang korban bisa saja berubah posisinya menjadi seorang tersangka.
Makna keadilan
Keadilan dalam konsep hukum sendiri memiliki banyak penafsiran, keadilan menjadi tujuan dari hukum sehingga hubungan di antara keduanya vertikal. Namun, dalam kenyataannya terkadang hukum tidak memberikan keadilan juga.
Hal itu bukan berarti ketidakadilan yang diberikan oleh hukum, tapi perangkat pendukung tercapainya keadilan oleh hukum yang masih lemah dan kurang moral.
Dikatakan oleh John D. Caputo dalam buku Percakapan Politik (2018) mengatakan tidak ada yang namanya “keadilan”, yang ada hanya polisi, jaksa, hakim, pengacara, BAP, dan proses pengadilan. Hal ini merepresentasikan bahwa sebenarnya keadilan memang sejak awal tidak ada yang ada hanya alat untuk membantu seseorang mendekati keadilan. Pada akhirnya pun keadilan yang diharapkan mungkin saja berbeda dengan apa yang diekspektasikan di awal.
Dalam perspektif Aristoteles, hukum dimaknai dengan kemampuan untuk memperlakukan setiap orang sesuai dengan haknya. Sehingga Aristoteles mengedepankan kesamaan setiap orang di mata hukum sesuai dengan asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law).
Kasus-kasus yang mendapatkan putusan yang dianggap merugikan dan berpihak menjadi salah satu celah dari hukum. Keadilan yang abstrak belum dapat dijadikan nyata dan terang oleh perangkat hukum sehingga para subjek hukum yang nantinya akan dirugikan.
Namun, hukum modern yang dilakukan pengadilan dalam rangka mendapatkan keadilan tidak sesempurna yang dibayangkan. Dengan menganut asas persamaan di mata hukum memberikan porsi kepada para subjek hukum memberikan argumen dan pendapatnya sama rata, tapi bagaimana nasibnya ketika salah satu pihak sulit mendapatkan akses ke dalam hukum.
Celah keadilan
Dalam hal ini salah satu pihak yang sulit mendapatkan akses ke hukum akan menjadi pihak yang dirugikan. Walaupun apa yang dikatakan Siswanto (2024) dalam kuliahnya mengatakan keadilan diberikan dengan prosedur hukum yang jelas. Maka yang dimaksudkan dalam keadilan tidak berfokus kepada putusan, tetapi berfokus kepada prosedural yang jelas dan tepat.
Sehingga hasil akhir tidak memandang siapa yang salah dan benar, tetapi melihat bagaimana jalannya hukum tersebut. Dengan itu, beberapa kasus akhirnya menghasilkan putusan yang dianggap kurang adil sebagaimana kasus di atas. Maka dari itu, seharusnya hukum dijadikan sebagai obat terakhir (ultimum remedium) bukan sebagai pilihan utama (primum remedium) dalam mencari sebuah keadilan.
Kebingungan menafsirkan keadilan menjadi sebuah polemik tersendiri, apakah keadilan harus bersifat universal ataukah bersifat partikular masih menjadi pembicaraan yang belum terselesaikan karena wujud keadilan yang masih abstrak.
Ketika keadilan dinilai sebagai sebuah nilai yang universal maka perlu tolok ukur yang jelas bagi semua orang di suatu negara atau dunia yang konsisten, tanpa perlu beradaptasi mengikuti perkembangan zaman. Namun, kenyataannya sulit untuk membentuk tolok ukur yang sama dan konsisten bagi semua orang karena pendefinisian keadilan masih sangat luas. Sehingga tolok ukur yang ada pun belum tentu dapat mengakomodasi, bisa saja ketidakadilan tetap muncul dan dirasakan beberapa orang.
Jika keadilan yang dinilai sebagai sebuah nilai universal masih mendapatkan pertentangan, maka keadilan sebagai nilai partikular pun sangat rawan karena dapat diselipi oleh kepentingan banyak pihak. Keadilan sebagai nilai partikular akan difokuskan kepada sebagian kelompok, maka keadilan di suatu tempat tidak akan sama dengan keadilan di tempat lain.
Negara sebagai pihak yang mempunyai kewajiban melindungi warganya memilik hak untuk memberikan keadilan juga. Dari hal itu, bisa saja sebuah keadilan disisipi oleh kepentingan pihak lain sehingga pada akhirnya ketidakadilan yang akan dirasakan nantinya.
Sehingga keadilan tidak akan benar-benar menjadi adil dan pada akhirnya keadilan siapa yang benar-benar adil?
Penulis: Gojali
Editor: Rizkiyana Magfiroh