Alkisah, pada suatu masa terjadi perdebatan antara pelukis Cina dan Turki. Beberapa pelukis Cina mengklaim, “Kami lebih maju dan dan lebih berbakat dari pelukis-pelukis Turki.”
Pelukis-pelukis Turki merespon,”Tidak, kami lebih unggul. Keterampilan kami jauh lebih maju.” Mendengar perdebatan itu, Sultan memutuskan untuk menguji mereka. Dia berkata kepada kedua pihak: “Tidah usah bertengkar, buatlah lukisan.”
Keduanya menerima usulan tersebut. Tetapi, untuk menjaga agar lukisan mereka tidak ditiru, pelukis-pelukis Cina memasang gorden besar di tengah ruangan. Mereka meminta berbagai macam cat serta peralatan melukis lainnya dari Sultan.
Di sisi lain, pelukis-pelukis Turki tidak meminta banyak perlengkapan. Mereka hanya meminta beberapa alat untuk membersihkan dan mengkilapkan dinding. Mereka tidak menginginkan banyak warna; mereka lebih suka lukisan yang netral tidak berwarna. Mereka menyadari bahwa terlalu banyak warna akan mengacaukan penglihatan.
Bakat dan kepiawaian bukan dilihat pada ragam warna yang banyak, tetapi pada ketiadaan warna; awan di langit dan air di laut pada dasarnya tidak berwarna, mataharilah yang memberi mereka warna.
Pada saat mereka selesai melukis, Sultan memberi selamat dan memuji pelukis-pelukis Cina; dia menyukai lukisan mereka. Perpaduan warna dan keindahan formasinya benarbenar menyentuh hati Sultan. Ketika tiba giliran pelukis pelukis Turki untuk menyajikan karya mereka, mereka meminta agar gorden pembatas dibuka.
Setelah gorden terangkat, dinding yang sudah dibersihkan dan dipoles oleh seniman Turki tampak seperti sebuah karya lukisan yang sangat indah dan memikat hati. Sebenarnya yang terpantul pada dinding tersebut adalah lukisan para seniman Cina, tetapi tampak lebih indah dan berkilau. Sultan, yang terpana karena kagum, memberi selamat kepada pelukis-pelukis Turki. Tanpa melukis, hanya dengan membersihkan dan mengkilapkan dinding, bayangan lukisan seniman Cina menunjukkan kepiawaian para seniman Turki.
Cerita itu terdapat dalam buku Ratapan Kerinduan Rumi, yang ditulis oleh Osman Nuri Toplas. Salah satu karya yang menafsirkan puisi-puisi Rumi. Alegori yang digunakan begitu sufistik. Membimbing manusia supaya dapat menerima cahaya ilahiyah.
Bukankah keadaan manusia juga seperti tembok tempat melukis para pelukis Turki itu? Kerjanya memantulakan apa mendatangi diri kita, layaknya sebuah cermin.
Kemampuan manusia yang paling awal adalah menyerap dan meniru. Kala bayi, kita belum bisa berbicara. Lalu kita menirukan suara yang ada di sekitar dan belajar berkata. Terus seperti itu, sampai pada akhirnya mampu menciptakan inovasi sendiri. Dalam bahasa sosiologi, manusia dibentuk dan dipengaruhi oleh lingkungan tempatnya mengada.
Ya, dalam posisi itu manusia diposisikan sebagai objek. Dia jadi yang diolah bukan yang mengolah. Dipengaruhi, bukan yang mempengaruhi.
Dalam konteks hubungan manusia dan Tuhan, tentu bukan menjadi soal. Masalahnya, kebanyakan dari kita adalah objek dari media sosial. Manivestasi manusia hari ini, adalah pantulan dari jagad maya. Pemahaman, tindak laku, bahasa, bahkan agama. Untuk soal terakhir, ini yang paling memilukan.
Media sosial adalah wahana bermain citra. Termasuk citra agama. Meski agama (dalam hal ini Islam) sebenarnya tidak satu wajah (baca: aliran), namun ada yang membingkainya ke arah sana. Seseorang yang tidak sesuai dengan pendapatnya dalam perdebatan di media sosial akan dicap kafir, dajjal, hisbuz syaithan, dll.
Nihil Sub Sole Novum (tidak ada yang benar-benar baru di bawah matahari). Kasus yanga terjadi hari ini, pernah saya alami sewaktu kecil. Saya hidup di desa yang masyarakatnya menganut dua paham keagamaan yang berbeda (NU-Muhammadiyah). Suasana bermasyarakat yang saya ingat, waktu itu orang beda aliran keagamaan seperti beda agama. Perbedaan pendapat masalah furuiyyah seolah menjadi deferensiasi keimanan. Pandangan itu menjadi dogma dan harus diikuti oleh anak-anak seperti saya. Dengan kata “pokok e Muhammadiyah salah, NU bener” begitu pula sebaliknya di lain pihak.
Kebekuan pemahaman seperti itu cair saat anak-anak tumbuh dewasa dan lebih mengenal banyak pandangan. Orang-orang NU di desa saya sudah biasa mengikuti salat Jumat di Masjid Muhammadiyah, dan orang Muhammadiyah juga mengikuti tahlihan jika diundang oleh masyarakat NU.
Pertanyaannya adalah, apakah diri (cermin) kita hari ini mau menerima objek yang lebih banyak? Atau, hanya berhenti pada satu klaim kebenaran absolut; Satu objek tunggal untuk dipantulkan.
Penulis: Sigit AF