Selasa 4 Desember 2018, mata penulis tertuju pada salah satu unggahan di facebook. Dalam kolom komentar, saya menemukan salah satu akun yang berceloteh tentang video pengajian Prof. K.H Aqil Shiraj (Ketua PBNU) . “Aqil Shiraj dajjal, kamu sendiri bilang jangan ke arap arapan. Kau pikir orang arap gak marah kamu bilang gitu lancau lu sirad“, begitu akun tersebut menuliskan.
Ketika saya membuka profil dari dari akun yang berkomentar, ternyata dia pemuda Islam. Foto profilnya memakai peci bersama seorang wanita berkerudung hitam yang kelihatannya adalah istrinya. Beberapa unggahan fotonya pun saya amati terdapat kalimat tauhid.
Tidak cukup satu akun saja, muncul satu akun lainnya yang cepat merespon unggahan tersebut dengan berkata,”Said kebanyakan makan micin lho.” Tampilan keagamaan akun profil kedua pun tak jauh beda dengan akun pertama.
Ulama sekaliber Said Aqil yang dimaki-maki demikian di kolom komentar itu, tentu, orang-orang yang tidak terima dengan makian itu, akan pula segera mengangkat bibirnya (membalas komentar) beragam dengan konsekuensi hilangnya nilai di ruang publik.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa publik semakin ke sini semakin mudah mengolok-olok hal yang dianggapnya tidak sesuai berdasarkan presepsinya? Mungkin ada benarnya ketika pemerintahan Jokowi mencanangkan program Revolusi Mental setelah melihat yang terjadi di ruang sosial kita kini. Meskipun revolusi mental itu masih terbang tinggi di langit.
Ya, ini tentang akhlak. Ajaran Muhammad adalah ajaran akhlak manusia dan Nur Muhammad selalu menyinari umatnya karena akhlak yang dicontohkannya tetap digunakan. Namun Nur itu perlahan meredup.
Imam Tirmidzi pernah meriwayatkan begini, “Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang jika kalian kerjakanniscaya kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.”
Imam Bukhori juga pernah meriwayat hadist begini, “Seorang Muslim yang baik adalah yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.”
Lebih gamblang lagi tentang hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, “Bukan termasuk dari kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua, dan tidak menyayangi yang lebih muda, serta orang yang tidak memerintah pada kebaikan dan mencegah perbuatan munkar.”
Ketiga hadis itu berisi ajaran nabi tentang akhlak dari sekian banyak ajaran akhlak kepada umatnya. Namun ajaran itu tenggelam di umur zaman yang katanya sedang berada di puncak kemajuan melalui net media atau cyberspace.
Adakah kita pernah berpikir sebelum melakukan perbuatan meskipun hanya komentar diunggahan orang? Everything has a consequences! Nabi dan Islam yang selama ini disebut-sebut sebagai pedoman hidup hanya seperti angin surga yang lewat.
Apalagi di tahun politik dan dunia buzzer seperti sekarang. Kita akan semakin sulit dan dipaksa diajak pergi dari ajaran untuk bersimbosis mutualisme dan menyadari kita adalah hanya manusia yang hidup bersama manusia tanpa bias apa-apa kecuali kehendak kuasa. Atau kah memang kita sudah membunuh ilahiah meski sering menyebut kalimat tauhid?
Penulis: Khalimatus Sa’diyah
Editor: Semoroneng Bumi