Kasus kekerasan masih membayangi Pers Mahasiswa (Persma) di Indonesia. Tak usai tindakan represi kian dialami mereka, baik dalam bentuk teguran, pencabutan berita, makian, hingga ancaman.
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mencatat 185 kasus represi Persma dalam kurun waktu 2021-2022. Kasusnya sendiri terjadi di 22 wilayah PPMI Kota atau Dewan Kota.
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Dinamika Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) pernah menjadi korban represi. Sekretariat Dinamika dibobol dan diacak-acak oleh orang yang tidak dikenal. Dugaan kemudian muncul bahwa tindakan itu terjadi karena ada pihak yang tidak terima dengan pemberitaan LPM Dinamika terkait adanya pemungutan liar oleh mahasiswa pada saat kegiatan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) pada September 2022.
Bukan hanya itu, di tahun yang sama, dikutip dari deduktif.id, LPM Lintas Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon juga pernah mendapat aksi teror berupa pembobolan sekretariat seusai publikasi laporan yang berjudul “IAIN Ambon Rawan Pelecehan”. Tak berhenti di sana, beberapa orang yang tergabung dengan LPM Lintas bahkan mendapat serangan fisik hingga dibekukannya organisasi tersebut oleh pihak kampus.
Tidak hanya kekerasan fisik, intimidasi sensor berita pasca publikasi juga dapat terjadi. Seperti yang dialami oleh portal berita Poros naungan Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Anhar Ansori, Dosen di kampus tersebut yang juga merupakan kepala penerbitan meminta Persma untuk men-take down pemberitaan tentangnya yang menjual buku pada mahasiswa dengan alibi akan memberikan nilai.
Dari beberapa kasus yang dialami oleh LPM menandakan adanya ketidakseriusan hukum dalam mengatur kebebasan pers dalam memberikan pendapat.
Faktanya, secara legalitas pers mahasiswa tidak memiliki payung hukum yang jelas. Dalam memunculkan wacana kritis dalam setiap karya jurnalistik, yang mana dalam setiap proses reportasenya memiliki risiko, pers mahasiswa sering kali malah menemui jalan buntu dan mengalami kesulitan dalam mengadvokasi berbagai tindakan represi dan serangan yang di terima.
Biasanya, untuk upaya mendapat perlindungan, pers mahasiswa harus memperkuat jaringan dengan organisasi serta asosiasi jurnalis yang dapat bantu dalam melindungi. Padahal, sebagai negara hukum, hukum itu sendiri dapat menjadi tameng bagi masyarakatnya begitu pun pers mahasiswa.
Kepentingan ini ternyata menarik perhatian kalangan elit. 18 Maret lalu, Dewan Pers bersama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi resmi menetapkan sebuah perjanjian terkait Penguatan dan Perlindungan Aktivitas Jurnalistik Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi. Maksudnya bahwa, dengan adanya perjanjian ini, maka pers mahasiswa dapat di akui sebagai organisasi yang layak dilindungi selayaknya pers pada umumnya melalui Undang-Undang Pers (UU) No. 40 tahun 1999.
Dalam Memorandum of Understanding (MoU), ada tiga poin bentuk perlindungan kepada pers mahasiswa, pertama meningkatkan kapasitas pers kampus, kedua membuat sistem kerja sama dengan konstituen sebagai wadah magang bagi Persma, dan terakhir sebagai bentuk perlindungan pers mahasiswa dalam penanganan pemberitaan untuk mengentaskan diskriminasi.
Upaya Dewan Pers melakukan Perjanjian Kerja Sama (PKS) tidak hanya dengan Kemendikbudristek, dalam wawancara bersama tim Amanat.id, 30 April lalu Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan bahwa perjanjian serupa akan dilakukan juga bersama dengan Kementerian Agama (Kemenag).
Wacana perlindungan Persma tersebut tentu menjadi angin segar bagi organisasi pers. Walaupun hubungan yang terjalin masih dalam bentuk MoU yang tidak memiliki landasan hukumnya, hal ini dapat menjadi langkah besar pencapaian pers mahasiswa dalam memperoleh perlindungan hukum. Dengan begitu, bentuk perlindungan dari kekerasan tidak lagi menjadi keresahan.
Kumala Nur Afiah