
Kebenaran kerap menjadi motif utama terjadinya konflik. Mereka yang membawa kebenaran tak luput menjadi target dari kekerasan. Setiap siaran yang menangkap ketidakadilan menyembunyikan resiko berat, terutama yang dihadapi para wartawan di Tepi Barat, Palestina.
Data dari Committee to Protect Journalists (CPJ) mencatat bahwa Israel merupakan salah satu negara dengan angka kematian jurnalis tertinggi dalam konteks konflik. Ironisnya, sebagian besar korban adalah jurnalis lokal dan warga Palestina yang selama ini menjadi tulang punggung peliputan dari dalam wilayah konflik. Mereka kerap kali tak mendapatkan perlindungan hukum dan diplomatik yang biasanya tersedia bagi seorang jurnalis.
Satu hal yang paling menyakitkan dari semua ini adalah minimnya respons internasional yang tegas. Meski kecaman demi kecaman mengalir dari organisasi pers dan lembaga HAM, tindakan konkret hampir tak pernah hadir. Investigasi terbuka sering dihambat oleh tekanan politik dan kasus-kasus pembunuhan jurnalis tak pernah berujung di meja pengadilan.
Hal ini menciptakan iklim impunitas yang sangat berbahaya. Ketika membunuh jurnalis tidak menimbulkan konsekuensi hukum, maka peliputan kritis dianggap ancaman yang sah untuk diberangus. Ketika dunia membiarkan itu terjadi berulang kali, kita semua sebagai bagian dari masyarakat global, ikut bertanggung jawab atas hilangnya kebebasan pers.
Tekanan berlapis menjadi jurnalis
Berhadapan dengan sistem militer yang merupakan perpanjangan tangan dari kekuasaan pemerintah yang sering menekan, acap kali membuat pembatas otoritas lokal menjadi tidak toleran terhadap kritik. Meskipun tekanan paling mengancam adalah represi sistematis dari militer terhadap jurnalis yang mencoba mengungkap realitas di lapangan.
Shireen Abu Akleh mungkin menjadi simbol paling nyata dari situasi ini. Jurnalis senior Al Jazeera yang ditembak mati peluru tajam saat meliput operasi militer Israel di Jenin, meski telah mengenakan rompi bertuliskan “PRESS”. Investigasi dari berbagai lembaga internasional, termasuk Cable News Network (CNN) dan The New York Times, menunjukkan bahwa tidak ada baku tembak di sekitar lokasi yang bisa membenarkan kematiannya.
Bahkan tak sedikit dari jurnalis lokal yang memiliki afiliasi internasional kerap menghadapi dilema yang lebih kompleks. Mereka dituntut untuk menjaga independensi di tengah tekanan dari otoritas wilayah seperti Hamas di Gaza atau Palestina di Tepi Barat, yang tak jarang menindak media yang dianggap “tidak patriotik” atau merugikan citra kekuasaan. Mereka hidup dalam ironi berjuang untuk menyuarakan realitas, sambil terjebak dalam dua sisi sistem yang kerap menindas.
Dalam konflik ini, media dianggap sama berbahayanya dengan senjata. Rekaman yang menunjukkan kekerasan terhadap warga sipil, penggusuran paksa, atau serangan udara kerap menjadi alat perlawanan naratif yang ampuh. Maka tak mengherankan apabila saat jurnalis menyiarkan kondisi lapangan sering menjadi sasaran.
Terlebih menjadi jurnalis di era digital berarti siap menghadapi ancaman yang tidak hanya datang dalam bentuk tekanan kerja, tetapi juga intimidasi digital berupa serangan siber, hingga persaingan dengan konten viral yang belum tentu kebenarannya. Tuntutan kecepatan sering kali mengorbankan akurasi, sementara intervensi politik dan ekonomi mengancam independensi redaksi. Dalam situasi ini, jurnalis dituntut untuk tetap teguh pada etika, berpihak pada kebenaran, dan menjaga peran pentingnya dalam demokrasi. Karena itu, kebebasan pers dan perlindungan terhadap jurnalis harus menjadi perhatian bersama.
Berkaca di Indonesia
Tragedi yang menimpa jurnalis di Palestina seolah terasa jauh, namun jika diamati lebih jeli, gaungnya sampai juga ke tanah air. Di Indonesia, kekerasan fisik mungkin jarang menyasar wartawan, namun bentuk represi terhadap kebebasan pers justru berkembang dalam rupa yang lebih halus—dan karena itu, lebih berbahaya.
Situasi ini punya kemiripan meski dengan bentuk yang lebih subtil. Kasus pembatalan pemuatan liputan investigatif oleh beberapa media arus utama karena tekanan sponsor atau pemilik modal menunjukkan bahwa independensi redaksi kerap dikompromikan demi kenyamanan kekuasaan. Jurnalis Tempo, Majalah Tirto, dan Project Multatuli pernah menghadapi intimidasi setelah menerbitkan laporan yang mengungkap praktik kekerasan negara, pelanggaran HAM, atau konflik lahan yang melibatkan aparat.
Dalam beberapa bulan terakhir, muncul kecemasan baru berupa intervensi kekuasaan terhadap ruang redaksi yang selama ini menjadi benteng independensi jurnalistik. Beberapa media kerap mendapat tekanan untuk menurunkan berita yang tidak sejalan dengan narasi resmi, sementara jurnalis yang menyelidiki kasus-kasus sensitive seperti korupsi, konflik agraria, hingga kekerasan negara—menghadapi intimidasi terselubung.
Ironisnya, semua ini terjadi di negara yang secara konstitusional menjamin kemerdekaan pers. Situasi ini kian mengkhawatirkan dengan munculnya pola pengerdilan peran media—bukan lewat kekerasan langsung, tapi lewat delegitimasi sistematis. Jurnalis yang mengkritik sering kali dilabeli provokator, pengganggu stabilitas, atau bahkan anti-pemerintah. Dalam konteks inilah, kematian jurnalis seperti Shireen Abu Akleh bukan hanya peristiwa kemanusiaan, melainkan cerminan yang menunjukkan rapuhnya posisi jurnalis di mana pun mereka berada—termasuk di negara demokrasi, seperti Indonesia.
Pada akhirnya kita dihadapkan pada pertanyaan besar, jika jurnalis tak lagi bisa menulis, kebenaran siapa yang akan bicara saat giliran kita yang ditindas? Apakah kita lebih nyaman hidup dalam kebohongan yang tenang daripada kebenaran yang berisik?
Penulis: Rio Ramadhan