Ranjangku teras ini. Tempat paling sejuk untuk tidur meski hanya tiga jam semalam dalam setahun ini. Kemewahan yang tak tersaingi. Setiap subuh suara kicau kutilang dan ketukan burung patuk membangunkanku. Penggugah tidur yang disediakan oleh alam secara gratis. Kicauan kutilang itu mengingatkanku pada lagu yang selalu diminta Bu Yati, guru SD di desaku, untuk dinyanyikan salah satu murid favoritnya di depan kelas. Aku ini. Hehehe. Dan suara burung patuk yang hampir punah itu, melihat dan mendengarnya mencangkul batang meh secara live, melengkapi rasa merdekaku jelang 17 Agustus ini.
Dua jam kemudian tiga remaja datang menemani saya ngopi tanpa gula. Rafa, Ilham, dan Gani. Tiga anak manis pengganti gula di gelas itu. Ada teh kemangi, jahe panas dan serit pisang raja tersaji jadi perhatian mereka bertanya, ujung-ujungnya minta ikut dituangi.
Saya menemukan teori fisikawan Fritjof Capra pada ketiganya sebagai “Crystal’s Generation”. Gaya diplomasi anak remaja yang suka bertanya dan menyela jawaban dengan pertanyaan baru. Mereka tak butuh penjelasan tuntas apalagi yang bertele-tele. Bertanya sambil membetot pisang dan menyisakan hanya gagang. Setiap penyelaan menunjukkan ekspektasi kepahaman mereka sebelum penjelasan tuntas diberikan. Yang disebut tuntas buat kita artinya tidak fokus menurut mereka.
Penyelaaan itu kritik pedas buat saya yang suka tertukar antara contoh dan penjelasan. Membuat sebagai pembicara saya kehilangan alur dan lupa mau bicara apa tadi sebetulnya dengan banyaknya contoh-contoh tak relavan itu. Seperti saya, banyak guru sering lupa ketika sedang asyik bicara. Bahkan ada yang sampai tak memberi sedikit ruang murid-murid bertanya. Buat kita mungkin biasa, buat anak-anak adalah framing yang membekukan kemerdekaan. Terima kasih saya kepada Capra dalam memahami fenomena ini.
Sambil bertanya ketiga tangan anak itu tetap memegang kulit-kulit pisang itu dan tak membuangnya. Sebentar lagi akan dibaginya untuk teman-teman baru mereka. Sapi-sapi yang setiap pagi selepas ngopi di teras itu mereka kunjungi. Saya suka gaya mereka akhir-akhir ini. Cuek, tetapi santun. Setiap hari berjuang memahami dirinya sendiri dengan cara sangat dinamik melalui berbagai ekspresi.
Mereka tak pintar menurut guru-guru matematika dan eksakta, tetapi sangat cerdas bahkan melebihi murid pemilik nilai 8 kedua mapel itu. Kecerdasan genuine dengan gaya kecuekan yang mendekonstruksi genre kepintaran skala sekolahan. Kecuekan itu diam-diam membanggakan saya, menunjukkan mereka sudah menganggap saya bagian dari keluarganya. Menjadi “guru” dari banyak orang yang tak mau.
Tapi, pagi itu mereka melupakan kebiasaan membawa kulit pisang itu ke kandang. Tukang kayu keburu datang. Kang Yadi turun dari gunung membawa seperangkat alat ukir kayu. Ini hari kami bersepakat belajar mengukir kayu meh jadi orang-orangan. Awalnya hanya Gani. Ia punya seperangkat wayang golek kenang-kenangan dari ayahnya setiap habis pergi. Ternyata Ilham dan Rafa, yang asli Jepara dan orang tuanya pebisnis ukiran, tertarik ikut belajar dan menjadi pengalaman pertama mereka.
Dari ranjang itu awalnya. Ngopi, ngeteh, membentot pisang, lalu muncul ide genuine dari tiga anak merdeka itu. Saya dan anak-anak remaja itu hari itu belajar membuat boneka wayang golek Sunda sambil bercerita sejarahnya. Peristiwa yang akan jadi dongeng indah mereka ketika besar nanti.
Semua peristiwa itu saya proklamasikan dalam cerita pagi ini. Suatu kemewahan dan kemerdekaan yang tak saya temui setiap bangun pagi di ranjang biasa di Jakarta.
Salam dongeng!
Hasan Aoni, pendiri Omah Dongeng Marwah.