Sejak kelahirannya pada Desember 2012, Pulang telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Pulang juga berhasil memenangkan “Prosa Terbaik Khatulistiwa Award 2013” dan masuk nominasi “75 Notable Translations of 2016 by World Literature Today“.
Harga yang pantas untuk mahakarya secemerlang Pulang yang menyajikan tiga peristiwa penting: tragedi ’65 di Indonesia, Revolusi Prancis pada Mei 1968, dan Reformasi di Indonesia pada Mei 1998.
Pulang merupakan representasi dari kehidupan aktivis pada era Orde Lama pasca tragedi ’65. Terutama bagi pihak-pihak yang condong ke “kiri”, keluarga dan kerabatnya, bahkan yang tidak memilih aliran politik manapun (netral).
Sejarah—meski tak tertulis—membuktikan, untuk tiga tahun berikutnya setelah 1965, Indonesia memiliki beberapa tahap kekejian: perburuan, penunjukan nama, penggeledahan, penangkapan, penyiksaan, penembakan, dan pembantaian. [70]
Leila merangkum peristiwa penuh darah dan nelangsa menjadi drama kekeluargaan, persahabatan, dan tentu saja asmara. Dibagi dalam tiga babak: Dimas Suryo dalam pengembaraan abadi; Lintang Utara yang mencari identitas diri; serta Segara Alam bersama cita-cita kemenangan.
Kendati Leila menyelipkan bait-bait T.S. Elliot, Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, Auden, Led Zeppelin, atau yang lain; toh tetap saja tak mampu mengusir desir akibat tegang, ngilu, dan sendu yang disuguhkan bergantian.
Dimas, Nug, dan Risjaf yang ‘dikirim’ ke luar negeri sebagai delegasi tidak pernah tahu bahwa mereka takkan pernah bisa kembali. Terombang-ambing di negeri orang tanpa perbekalan, bahkan niat sekalipun, bukanlah hal mudah. Meski sebagian besar telah membentuk keluarga ‘baru’, dalam hati tetap terbesit keinginan untuk pulang ke tanah kelahiran. Harapan yang diketahui secara pasti tidak akan terjadi selagi penguasa belum berganti.
Para burung pengelana akan tetap dibiarkan menetap di negara seberang. Nama mereka dihapus dari sejarah Indonesia dan sejarah peradaban hidup ini, sedangkan rezim akan diteruskan demikian turun-temurun. [202]
Membaca Pulang seperti mencium aliran darah yang mengalir deras di sepanjang Bengawan Solo atau rembesan semangat perjuangan yang tertembak di kampus Trisakti. Sama saja: miris dan amis.
Tapi kegelisahan mengganggu setiap kali aku membaca surat-surat Aji yang berisi kisah horor pembantaian demi pembantaian di mana-mana: bukan hanya di Pulau Jawa, tetapi di Indonesia. Surat Aji berikutnya yang membuatku terhenyak adalah saat perburuan masuk ke Solo dan korban-korban dicemplungkan ke Bengawan Solo. / Merah. Sungai yang membesarkan aku menjadi merah darah. [79]
Nahasnya, peristiwa perburuan tersebut memberi imbas pada generasi berikutnya, yang lahir jauh setelah ’65. Baik dampak secara ekonomi karena orang tuanya dibatasi dalam memperoleh pekerjaan maupun dampak psikis. Seperti Lintang yang tak mengenal sebagian darah yang mengalir dalam dirinya; Alam dengan dendam yang membara; Bimo dan Rama yang dihantui kecemasan.
Dalam Pulang, secara pragmatis Leila memilih kisah Bima dan Ekalaya sebagai representasi tokoh utama. Dimas Suryo, lelaki tegas dan tangkas yang tak pernah diakui tetapi selalu masygul mencurahkan cinta segenap hati. Seperti cinta Bima kepada Drupadi dan cinta Ekalaya kepada Resi Dorna.
Gaya bahasa yang digunakan sangat ringan dan hidup. Mengetuk dan melambai hati agar membaca hingga usai. Menunjukkan bahwa sejarah, meski pelik dan kompleks, tetap bisa dinikmati.
Pulang juga menekankan agar kita sebagai generasi kekinian tidak boleh sekonyong-konyong menerima sejarah yang dijejalkan dari buku maupun pelajaran. Ada banyak versi sejarah yang barangkali bertentangan, tetapi saling melengkapi dan membuka pandangan.
Terakhir, sebagaimana yang ditanyakan Alam:
… siapakah pemilik sejarah? Siapa yang menentukan siapa yang jadi pahlawan dan siapa yang penjahat? Siapa pula yang menentukan akurasi setiap peristiwa?
Yu Kenanga sering mengutip bahwa pemilik sejarah adalah penggenggam kekuasaan.
Menurutku, pemilik sejarah adalah para perenggut kekuasaan dan kelas menengah yang haus harta dan tak keberatan duduk reriungan mesra bersama penguasa. Aku lebih suka menggunakan kata ‘perenggut’, karena mereka yang berkuasa selama puluhan tahun sesungguhnya tak berhak memerintah negeri ini. [288-289]
Judul: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun terbit: 2019 (cetakan ke-12)
ISBN: 978-602-424-275-6
Ukuran: 13,5 × 20 cm; viii + 461 hlm.
Genre: Novel (Roman Sejarah)
Ilustrator: Dimas “Timbul” Cahya Krisna
Resentator: Rizkyana Maghfiroh