Hidup dalam keterasingan adalah kondisi paling menyakitkan. Kita kehilangan teman, keluarga, serta orang-orang terdekat bahkan mungkin kawan terbaik yang dulu biasa saling bertegur sapa. Dalam keterasingan itu, kita telah tenggelam dari gemuruh keramaian.
Kita tak bisa memungkiri, pandemi telah membuat kita menjadi manusia asing. Di hadapan pusaran badai pandemi, kita telah sama-sama saling mengasingkan diri dan bersembunyi dari balik pintu rumah. Kita tak mengenal orang-orang baru. Untuk sekedar menyapa kembali orang-orang lama, kita juga menaruh kewaspadaan. Kita bahkan lebih menikmati keterasingan itu sebagai afirmasi alegori sederhana Plato tentang manusia yang memilih hidup dalam keterasingan.
Dalam alegori plato, orang-orang terpenjara dalam sebuah goa. Tak banyak yang bisa dilakukan orang-orang itu selain menghabiskan waktu melihat bayang-bayang manusia dan binatang yang lewat pada dinding goa. Orang-orang itu barangkali tidak ditakdirkan untuk berkenalan dengan dunia luar. Orang-orang di dalam goa lebih mengamini kondisi dalam goa sebagai realitas hidup ketimbang keadaan dari luar goa.
Hari ini, kita mengadopsi alegori Plato sebagai pola hidup di bawah bayang-bayang pandemi. Meskipun di beberapa negara kondisi pandemi masih belum pulih, namun di bumi pertiwi perlahan membaik. Juru bicara satgas covid-19, Wiku Adisasmito dalam konferensi pers pada Selasa (28/09/2021) mengatakan indonesia tengah bersiap untuk menurunkan status pandemi menjadi endemi.
Penurunan status itu dilakukan usai terdapat penurunan kasus sebesar 86,4 persen sejak awal pemberlakuan PPKM Agustus lalu. Pemerintah terus berupaya menurunkan kasus covid-19 dengan menargetkan kasus mingguan dapat ditekan hingga di bawah 10.000 kasus per minggu.
“Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa kondisi covid-19 di Indonesia terkendali dan siap untuk berfokus menuju status endemi,” kata Wiku.
Kini, usai kabar itu beredar, kita mencoba beranjak dari keterasingan. Lebih dari satu tahun, kita hidup tanpa aktivitas di luar rumah. Kita mulai bosan. Kita jenuh melihat pandemi tak segera lenyap dari bumi.
Tapi, kita juga tak sepatutnya terus-menerus berada di garis pertahanan. Kita harus menyerang balik. Negara-negara dari berbagai belahan dunia saling berlomba menurunkan status pandemi ke endemi. Orang-orang di desa-desa hingga kota-kota mulai memberanikan untuk keluar dari rumah-rumah. Masjid-masjid perlahan merapatkan shaf yang berjarak.
Kita bersiap untuk memulai hidup baru. Kita berjumpa kembali dengan teriknya panas matahari. Kita juga diperlihatkan anak-anak mengunjungi berbagai wahana permainan. Para pelajar bersiap memasuki gedung sekolah yang telah lama tak berpenghuni.
Namun, apakah keterasingan itu hanya akan berjalan selama pandemi saja, atau bakal menjadi budaya baru kehidupan kita sekalipun pandemi telah berakhir?
Jawabannya mungkin tidak. Hari ini, beberapa dari kita telah keluar dari rumah dengan tubuh yang telah ‘dimodifikasi’ oleh (minimal) satu serum vaksin. Kita mencoba keluar dari kungkungan pandemi. Vaksin-vaksin digencarkan dengan target jutaan atau bahkan seluruh penduduk bumi bakal disuntikkan serum yang katanya bisa membuat tubuh kita kebal dari covid.
Usai keluar dari goa sebagaimana yang diceritakan Plato, kita kembali dihadapkan pada keterasingan. Kita dihadapkan pada satu kontrak khusus menuju kehidupan dan adaptasi baru. Orang-orang yang menolak, bisa dipastikan bakal berdiam lebih lama di dalam goa. Sementara, mereka yang tergoda iming-iming kehidupan di luar goa, harus bersedia ‘dimodifikasi’ untuk mendapat kebebasan hidup di luar goa.
Kita merasa seperti terlahir kembali sebagai manusia baru yang lebih kuat dengan ‘modifikasi’ sedemikian rupa. Tapi, di satu sisi kita tak bisa leluasa bergerak. Segala aktivitas dibatasi dan ditentukan oleh sertifikasi vaksin. Vaksin menjadi senjata yang digaungkan dalam melawan pandemi. Restoran, hotel, mall, destinasi wisata hingga pelaku perjalanan domestik satu persatu mewajibkan orang-orang untuk vaksin.
Telah menjadi pengetahuan bersama, jauh sebelum vaksin menjelajahi setiap celah dalam tubuh, puluhan bahkan ratusan dosis lain lebih dulu menghuni bagian tubuh kita. Sekarang, tubuh biologis ini menjadi laboratorium berjalan dengan sejuta bahan kimia di dalamnya.
Apakah kita hendak kembali memasukkan benda asing (lagi) ke tubuh kita? Jelaslah ini pilihan sulit. Kita tentu tak ingin berdiam diri. Kita ingin keluar, tapi kita dikekang. Situasi sulit yang menurut Karl Jasper, seorang filsuf kelahiran Jerman, sebagai situasi batas, sebagai bentuk ketergantungan pada nasib.
Pada kondisi ini, kita kembali menjadi manusia asing. Sebagaimana Erich Fromm yang medefinisikan keterasingan sebagai suatu kondisi di mana orang tak lagi melakukan sesuatu atas dasar kehendak sendiri, melainkan disetir oleh sesuatu di luar dirinya.
Barangkali, vaksinasi adalah life style menuju tatanan kehidupan baru. Kita mungkin punya pilihan untuk menjadi manusia yang tak terasingkan dengan segala konsekuensinya. Kita tentu tak ingin mengalami mimpi buruk untuk kedua kali. Tapi, untuk menghindari itu, kita dipaksa menjalani satu ritual khusus itu.
Penulis: Agus Salim I