Sedari kecil, orang-orang tua kita menyekolahkan kita agar kita menjadi anak yang pintar. Cara agar menjadi pintar yaitu dengan “belajar”, dan kunci dari belajar adalah membaca dan yang kita baca adalah melalui buku. Maka dari itu, seringkali kita mendengar dari teman orang tua atau guru SD bahwa buku adalah “Jendela Dunia”.
Istilah buku diibaratkan sebagai jendela dunia sendiri memiliki sejarah dan alasan. Sejarah buku berawal dari zaman mesir kuno di tahun 2400 SM. Pada saat itu, orang-orang mesir mencoba menuliskan simbol-simbol di daun Papyrus yang dijadikan sebagai selembar kertas Papyrus. Kertas dari daun Papyrus yang ditulis oleh orang mesir pada saat itulah yang menjadi buku pertama di dunia.
Sedangkan alasan buku sebagai jendela dunia adalah karena buku merupakan sumber berbagai informasi yang dapat membuka wawasan di zaman yang mesih menjadikannya relevan. Di sana berisi tentang berbagai hal seperti ilmu pengetahuan, ekonomi, sosial, budaya, politik maupun aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Selain itu, dengan membaca buku dapat pula mengubah masa depan, serta dapat menambah kecerdasan akal dan pikiran kita. Itu buku yang secara fungsinya relevan terhadap kehidupan manusia.
Buku sebagai medium penulisan ilmu mengalami perubahan seiring zaman. Mulai dari zaman konvensional hingga zaman digital.
Fakta jendela dunia kini?
Buku, dalam prosesnya telah bertransformasi hingga sekarang ini yaitu buku sudah berupa elektronik dalam bentuknya yang bisa dibuka melalui gawai, yang maknanya saat orang ingin membaca harus masuk dulu menjelajahi internet.
Buku cetak di era digital seperti sekarang menjadi sebuah keniscayaan bagi jalannya transfer pengetahuan. Hal ini dikuatkan dengan daftar jumlah pengguna internet. Pada tahun 2005 dari jumlah penduduk sebanyak 6,5 milyar jiwa 16% pengguna internet. Di tahun 2010 dari jumlah penduduk sekitar 6,9 milyar jiwa 30% pengguna internet. Di tahun 2017 sebanyak 7,4 milyar 48% merupakan pengguna internet. Sedangkan estimasi waktu penggunaan internet terutama di Indinesia dalam sehari yaitu sekitar 6 jam.
Melihat data tersebut, dapat digambarkan bahwa pembacaan buku cetak yang berisi ratusan halaman dan full teks menjadi sulit untuk dibaca oleh masyarakat sebagai medium pengetahuan karena secara tidak langsung, internet yang telah menguasai budaya membaca selain saat mereka tidur.
Kebiasaan yang juga dapat menjadi ketergantungan bagi jalannya atau masuknya pengetahuan melalui medium yang sudah berbeda tersebut adalah fenomena yang layak untuk terus dipikirkan bersama, karena tentu hal yang sudah tidak relevan lagi dalam fungsinya semestinya harus segera dikembangkan atau diperbaiki.
Mahasiswa dan Membaca
Lingkungan mahasiswa adalah lingkungan intelektual. Dulu, sebelum internet datang, mahasiswa mau tidak mau harus ke perpustakaan untuk bisa mendapatkan pengetahuan. Bagaimana dengan kini? Perpustakaan sekarang hanya menjadi tempat mencari bahan atau buku rujukan untuk mengerjakan tugas saja, selebihnya perpustakaan hanya akan nampak seperti sebuah Museum.
Untuk bidang pencarian ilmu mahasiswa milenial kini justru lebih memilih belajar dengan audio visual atau video karena dalam medium yang kekinian tersebut berisi materi yang sudah ditransformasikan sehingga lebih mudah dipahami dan disenangi mata milenial.
Kecenderungan mahasiswa yang semakin banyak memilih pembahasan via elektronik atau digital tentu dapat berakibat berkurangnya mahasiswa yang mampu mengkhatamkan satu buku walaupun sampai satu tahun lamanya, tentu juga kunjungan ke perpustakaan-perpustakaan untuk membaca dan memahami pengetahuan.
Seharusnya Bagaimana?
Peranan pengajar atau dosen di lingkungan kampus misalnya, sebagai transformator ilmu lah yang harus ikut bertindak menghadapi fakta induktif ini. Seperti halnya mentransformasikan materi-materi yang ada dalam buku untuk dibuat seperti video penjelasan sederhana agar mahasiswa benar-benar dapat paham dan teruji kebenarnnya.
Selain itu, budaya kampus yang sudah berubah seperti sekarang harus pula dipikirkan secara matang agar tidak menyesal setelah bisa lulus karena selama kuliah mereka sulit paham pengetahuan karena salah dalam pemilihan medium pengetahuannya.
Oh Buku, riwayatmu kini?
Penulis: Ilham Munif