Kita akan s’lalu butuh tanah
Kita akan s’lalu butuh air
Kita akan s’lalu butuh udara
Jadi teruslah merawat
Begitu sederhana dan lugas penggalan lirik pembuka “Lagu Hidup” milik Bagus Dwi Danto. Hampir seperti kalimat percakapan sehari-hari, tetapi punya daya hantam yang telak.
“Lagu Hidup” adalah bagian dari album pertama bertajuk “Woh” yang dirilis Bagus pada 2017. Dalam relasinya dengan pendengar, lirik-lirik itu dihidupkan untuk memberitakan, menyindir, mengedukasi, hingga melayangkan teguran.
Bagus Dwi Danto seolah memosisikan dirinya sebagai sebuah manifesto kecil di mana tak ada metafora yang berlapis-lapis. Ia memilih menempatkan dirinya di tanah yang nyata, di antara orang-orang yang terlibat langsung dalam perjuangan menjaga hidup dan melawan keserakahan.
Jika kau masih cinta kawan dan saudara, jika kau masih cinta kampung halamanmu, jika kau cinta jiwa raga yang merdeka, tetap saling melindungi
Lewat lirik di atas, dalam setiap kelirihan nada dan kemerduan petikan gitarnya, ia seakan tidak berteriak lantang dari podium tinggi. Namun, berbisik keras dari sawah basah, jalan setapak yang diapit pohon-pohon, sungai kecil yang mulai dangkal, dan setiap pusat-pusat penderitaan yang hadir membawa nyali.
Bagus Dwi Danto secara eksplisit seolah berbisik langsung kepada para petani yang tengah berjaga di batas tanah dan aktivis yang kelelahan selepas hari panjang menghadang alat berat. Lirik tersebut hadir sebagai mantra penguat dan pengingat akan kebutuhan manusia yang paling purba, yaitu menjaga agar tanah tetap bisa diinjak, air tetap bisa diminum, dan udara tetap bisa dihirup. Tanpa itu semua, segala peradaban, teknologi, bahkan perjuangan, tidak ada artinya.
Alih-alih menyerukan kemarahan besar atau agitasi, penggalan lirik dalam “Lagu Hidup” justru dibawakan dengan nada yang lebih tenang, seolah berbisik keras.
Lihatlah, kita ini kecil, tapi apa yang mesti kita jaga begitu besar
Sedihmu adalah sedihku juga
Sakitmu, sakitku, sakit kita manusia
Dua lirik di atas betul-betul membawa pekeling yang kuat. Bagus Dwi Danto dengan lembut menawarkan pengingat bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Manusia tidak pernah dirancang untuk hidup sendiri. Paham yang perlu ditanamkan dalam benak yakni, berbahagia di atas kesedihan banyak orang adalah sebuah kekelaman dan kesejahteraan di atas kemiskinan adalah jahat.
Di tengah agresi masyarakat modern yang sibuk menonjolkan individualitas, sibuk membangun tembok daripada jembatan, ia beranggapan bahwa pada dasarnya bio-organis manusia dirancang oleh alam demi organisme sosial bersolidaritas.
“Lagu Hidup” akan kerap terputar di panggung-panggung solidaritas penderitaan, bersuara bersama mereka yang suaranya tenggelam di bawah gemuruh kapitalisme dan keserakahan. Atau setidaknya, suaranya akan terus menggema di kamar-kamar kos pengap para aktivis mahasiswa. Kelak, bila ruang hidup manusia dilumuri keserakahan, kebencian, dan individualitas manusia masif dipertontonkan, maka tepat! “Lagu Hidup” adalah lawannya.
Kasyfillah Avecinna Lazuardin