
Perang Vietnam yang meletus antara tahun 1957 sampai 1975 tak sedikit menimbulkan polemik. Di mana saat itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet bak alegori populer Nietzsche, yaitu Apollonian dan Dionysian. Mereka berebut pengaruh, kekuasaan, supremasi ideologi, politik, dan senjata nuklir. Tak pelak juga Noam Chomsky menggambarkan perlombaan mengembangkan senjata nuklir sebagai supremasi politik yang akan menimbulkan kiamat bagi umat manusia, kerusakan lingkungan, dan depopulasi (dalam bukunya Who Rules the World?).
Peristiwa tersebut menimbulkan berbagai penolakan di Amerika Serikat, sebut saja yang paling legendaris adalah “Chicago 7”. Nama-nama seperti Rennie Davis, David Dellinger, John Froines, Tom Hayden, Abbie Hoffman, Jerry Rubin, serta Lee Weiner tergabung dalam satu payung ideologi yang sama, yakni kiri baru (New Left). Gerakan tersebut secara praktis, menyuarakan penolakan terhadap kebijakan invasi Amerika Serikat ke Vietnam dan mengadakan demonstrasi besar-besaran di Chicago. Demonstrasi ini akhirnya berujung pada kerusuhan yang mengakibatkan tujuh orang tersebut didakwa karena berkonspirasi melawan negara. Ketujuh pemuda penginisiasi gerakan revolusi di Chicago tersebut dikenal sebagai “Chicago 7”.
New Left yang diinisiasi oleh Herbert Marcuse mulai menjamur di kalangan masyarakat Amerika Serikat, tak terkecuali para cendekiawan yang ternyata berakar dari pemikiran Karl Marx. Awalnya, ia mungkin akan mengira bahwa “Das Kapital” dan upayanya menulis berbagai ulasan di media terhadap buku itu, tak lebih dari sekedar pemantik dan “panduan” bagi para buruh untuk menolak pemerasan kaum kapitalistik. Meskipun ia percaya bahwa Das Kapital berlandaskan pada kerangka epistemologi yang “ilmiah”.
Tentu Das Kapital tidak seabrek-abrek dan secara linear menjadi landasan ideologi orang-orang pasifis (anti-perang), bahkan mereka sama sekali tidak hanya berfokus terhadap pemenuhan hak kaum buruh saja. Klaim Marx atas Das Kapital yang berlandaskan pada kerangka epistemologi yang ilmiah, akan membantu kita dalam memahami relevansinya dengan gerakan New Left di Amerika Serikat pada tahun 1960an.
Sejatinya, Das Kapital merupakan tulisan atas kiritik Marx terhadap proses industrialisasi yang mulai mencengkram kehidupan masyarakat. Ia menawarkan dua variabel ilmiah dalam kerangka teorinya. Pertama, sistem kapitalis yang bekerja dengan mengeksploitasi tenaga kerja buruh.
Dengan kata lain, penambahan jam kerja dan upah di bawah minimum untuk para buruh, sehingga akan terjadi sebuah reproduksi untuk menciptakan keuntungan yang berkali-kali lipat lebih besar daripada sebelumnya.
Kedua, sistem kapitalisme akan runtuh berdasarkan dengan pertentangan-pertentangan yang ada sehingga melahirkan masyarakat sosialis. Marx menyatakan bahwa kaum buruh akan memiliki kesadaran “revolusioner” terhadap kondisi eksploitasi yang terjadi, sehingga menghendaki terjadinya suatu revolusi. Lalu apa hubungan antara Marx dengan dengan gerakan New Left dan pasifisme?
Pemikiran Marx terklasifikasi menjadi beberapa jenis, beberapa diantaranya adalah Vladimir Lenin (setelah revolusi Bolshevik) yang mengadopsi pemikiran Marx sebagai “weltanschauung” atau ideologi resmi partai komunis. Sementara itu, beberapa cendekiawan di Jerman membentuk aliran baru bernama Teori Kritis atau yang biasa dikenal dengan sebutan Mazhab Frankfurt.
Keduanya sangat berbeda dalam segi pemikiran, Lenin lebih bertumpu pada perkembangan sejarah yang bersifat material. Artinya, ia tetap melestarikan perjuangan kelas sosial Marx dan menghendaki bahwa revolusi adalah cara untuk menciptakan masyarakat yang lebih sosialis. Sementara Horkheimer dan Adorno dalam Mazhab Frankfurt sebagai antitesis, secara mengejutkan menolak mentah-mentah revolusi sebagai alat dalam menciptakan masyarakat sosial. Mereka justru berangkat dari pemikiran Marx yang paling dasar yaitu “emansipatoris” dan menggunakan pendekatan rasionalitas untuk memecahkan masalah sosial yang terjadi.
Lalu apakah yang dimaksud dengan “emansipatoris” itu? Aliran Teori Kritis mengklaim bahwa mereka merupakan pewaris cita-cita sejati Karl Marx tentang teori yang ingin mengembalikan kemerdekaan dan masa depan manusia itu. Berbeda dengan filsafat tradisional dan pemikiran neo-marxisme lainnya, Teori kritis mencoba untuk tidak hanya bersifat kontemplatif saja melainkan juga secara praksis digunakan sebagai gerakan sosial. Hal inilah yang menginspirasi gerakan anak-anak muda di Amerika Serikat pada tahun 1960-an yang kerap disebut sebagai New Left.
Franz Magnis Suseno dalam buku Filsafat Sebagai Ilmu Kritis menulis, “Marx mengkritik bahwa masyarakat luas merupakan realitas terpisah dari negara”. Di lain sisi, pemikiran Hegel dikritik Marx yang berpendapat bahwa negara sebagai subjek yang terdiri dari keluarga, masyarakat, dan individu. Negara sebagai objek berfungsi untuk meredam egoisme, maka negara dibutuhkan sebagai penertib.
Pasca Perang Dunia ke 2, tentu industrialisasi semakin berkembang.
Perkembangan industri ternyata tidak dipenuhi dengan pemenuhan hak-hak dasar manusia oleh negara. Secara praktis, konsumsi masyarakat yang terus berkembang tidak dibarengi dengan perhatian pemerintah Amerika Serikat terhadap hak-hak dan kebebasan setiap individu, sehingga orang-orang New Left memandang bahwa Teori Kritis seusai untuk mengisi kekosongan esensi hakikat dari manusia itu.
Setelah 3 tahun berselang, orang-orang New Left justru malah mengganggap klaim aliran Teori Kritis sebagai sesuatu yang bersifat praktis itu, tak lebih dari sekedar “tong kosong nyaring bunyinya” tatkala pemikiran mereka mulai dikonsumsi secara masif. Aliran teori kritis dengan beberapa perkataannya seperti “rasionalitas tujuan”, “akal budi instrumental” hanya seperti teori yang bersifat kontemplatif.
Meskipun begitu, pemikiran tersebut berkontribusi terhadap kerangka orientasi pemikiran gerakan itu untuk tidak hanya menyorot soal konsumerisme yang kian masif, tetapi bergerak pada penuntutan hal-hal lain seperti kesetaraan gender, kebebasan sipil, diskriminasi terhadap ras kulit hitam, dan penolakan terhadap Perang Vietnam.
Jika merujuk dari salah satu pemikiran pendahulu aliran Teori Kritis, Karl Korsch menyatakan bahwa teori Marx sebetulnya memiliki tujuan ganda yang tidak hanya berfungsi sebagai deskripsi ilmiah objektif terhadap proses masyarakat, tetapi juga memiliki ketersinambungan secara praktis. Korsch menyatakan tujuan teoretis teori Marx merupakan kritik terhadap ilmu-ilmu borjuis, terutama ilmu ekonomi. Akan tetapi, kritik teoretisnya itu sendiri juga memecahkan daya pemikiran ilmu borjuis atas masyarakat sehingga menciptakan kesadaran revolusioner.
Hal itu tergambar secara presisi dengan kondisi politik di Amerika Serikat pada tahun 1960an. New Left yang terdiri dari serangkaian gerakan masyarakat sejatinya merupakan bentuk perlawanan terhadap kebudayaan yang mapan pada saat itu, misalnya seperti banyak wanita terlibat aktif dengan gerakan politik padahal, “seharusnya” mereka mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan mencuci piring.
Dampak lain dari adanya proses politik demikian adalah timbulnya budaya hippie dengan gaya khas mengisap ganja, berambut gondrong, “pembuat onar”, anarkis, menggunakan pakaian lusuh dari toko bekas, dan tidak lupa juga seks bebas. Gerakan ini tentu atas respon terhadap industrialisasi dan budaya konsumerisme yang masif serta kritik atas partisipasi pria secara aktif dalam Perang Vietnam.
Periode 1960-an hingga 1970-an, Amerika Serikat sempat melarang dan mengkriminalisasi penggunaan ganja. Pelarangan tersebut sejatinya bukan atas dasar moral, tetapi karena hubungan diplomatik Amerika Serikat dengan Meksiko yang kurang membaik pada masa itu. Akan tetapi, hippie dengan sedikit radikal mengkonsumsi ganja secara terbuka, disamping sebagai bentuk kebebasan juga untuk mendiskreditkan “wibawa” Richard Nixon sebagai Presiden Amerika Serikat agar segera membatalkan Perang Vietnam.
Hiruk-pikuk protes terhadap Perang Vietnam ternyata tak hanya dilancarkan oleh New Left melalui aksi dan demonstrasi, tetapi juga oleh komposer The Beatles John Lennon melalui lagu Revolution 1 yang rilis pada tahun 1968. Tak seperti Tom Hayden dan teman-temannya, John menulis lirik lagu yang terkesan menimbulkan pesan sarkastik terhadap kondisi politik Amerika Serikat saat itu. Semenjak peluncurannya, (lagu yang rilis berdampingan dengan “Hey Jude” itu) sesekali membuat golongan New Left geram atas kritiknya terhadap gerakan revolusi.
Sebagaimana yang tertulis dalam banyak lagunya, beberapa kali John menunjukkan dirinya sebagai seorang pasifis, seperti dalam lagu singlenya yang berjudul “Imagine”. Dalam liriknya ia menulis, Imagine all the people, livin’ life in peace (bayangkan jika semua orang hidup dalam kedamaian).
Hal itu tampak berebeda dengan apa yang disampaikannya lewat Revolution 1. Dalam salah satu baitnya, ia menulis You say you’ll change the constitution. Well, you know. We all want to change your head (kamu mengatakan akan merubah konstitusi. Ya, kamu tahu. Kami semua ingin merubah pikiranmu).
John lebih sepakat apabila perubahan terjadi tanpa kekerasan. Menurutnya, demonstrasi yang berujung pada kekerasan, tak lebih seperti ironi terhadap apa yang disuarakan mereka mengenai perenggutan paksa hak-hak warga Amerika untuk terlibat dalam Perang Vietnam. Untuk apa melawan kekerasan dengan kekerasan yang sama.
Entah ia menyadari atau tidak apakah ketika gerakan New Left berhasil merubah konstitusi, sejarah akan terulang layaknya cerita tersohor Maximilien de Robespierre yang terlalu terobsesi pada pemikiran kontrak sosial Rousseau. Menariknya, sebagai kritik pamungkasnya terhadap New Left, dalam salah satu bait lagunya yang sedikit menggelitik.
“But if you go carrying pictures of Chairman Mao. You ain’t going to make it with anyone anyhow.”
Penulis: Moehammad Alfarizy