Pernahkah kalian bertanya, mengapa buku motivasi di banyak toko buku terjejer rapi dalam kategori best seller? Apakah masyarakat kita mengalami degradasi motivasi sebegitu dalam, sehingga harus banyak membaca asupan buku motivasi? Atau para penulis buku itu hanya mengejar cuan dengan menghujani pembaca dengan kata-kata indah berbalut motivasi?
Dari kehidupan sebelum pandemi hingga pasca-pandemi, peminat buku motivasi begitu menggeliat. Diakui atau tidak, kini telah terjadi pengikisan semangat hidup yang luar biasa di kalangan masyarakat sehingga membutuhkan ribuan kata-kata motivasi untuk mengembalikan semangat hidup dalam gempuran pandemi.
Data internal jaringan toko buku Gramedia memaparkan secara rinci tiap penjualan genre buku per September 2021. Departemen self improvement – induk dari genre motivasi, berkontribusi membukukan penjualan sebesar 10%. Penjualan ini tak terpaut jauh dari kontribusi tertinggi yang dipegang oleh departemen buku anak, yaitu sebesar 15%. Sementara penjualan tertinggi kedua dipegang oleh departemen novel, yaitu sebesar 14%.
Ini menunjukkan bahwa animo masyarakat Indonesia untuk datang ke toko buku dan memprioritaskan pembelian buku motivasi masih tinggi. Namun, memprioritaskan buku motivasi sebagai bacaan utama adalah sebuah kekeliruan.
Buku motivasi memang mencoba meyakinkan dan menyihir pembaca untuk mengikuti tipsnya agar menjadi manusia yang sukses. Mereka mencoba menyajikan resep-resep sukses dengan penuh semangat, seolah-olah memang resep itu yang paling manjur. Pembaca diajak masuk ke dalam ruang fantasi, di mana ketika dia baru membacanya telah tergambar kesuksesan yang akan diperoleh.
L. Craighead dalam artikel yang berjudul Perspectives on self-help and bibliotherapy: You Are What You Read, yang diterbitkan dalam Handbook of Counselling Psychology, menyebutkan bahwa orang yang membaca buku motivasi memiliki masalah baru yang lebih parah dibandingkan sebelum membaca buku motivasi.
Ada semacam pikiran overthinking yang muncul akibat apa yang dilakukan saat ini berbeda dengan apa yang dituliskan dalam buku tersebut. Yang terjadi selanjutnya, mereka tak banyak bergerak dan lebih memilih berkhayal bersama kesuksesan.
Dalam pandangan yang lebih sinis, kekuatan buku motivasi seakan melebihi takdir tuhan, yang mampu melahirkan orang-orang super. Segala persoalan, bagi mereka telah dibalut dalam pandangan optimisme. Tak ada lagi sedih dan meratapi lara. Yang ada hanya semangat dan terus bahagia.
Sebagaimana yang diutarakan George Bernard Shaw,
“Baik optimisme maupun pesimisme, keduanya berkontribusi pada masyarakat. Orang optimis menciptakan pesawat terbang sedangkan orang pesimis menciptakan parasut.”
Euforia Sesaat
Sejak dahulu, isi dari buku motivasi itu sama; harus ulet, kerja keras, disiplin, jujur, dan masih banyak lagi. Membaca buku motivasi, tak akan mengubah diri menjadi lebih baik. Buku motivasi hanya bersifat sementara. Ia menciptakan euforia sesaat untuk memicu pembaca melakukan aksi perubahan.
Orang yang membaca buku motivasi adalah mereka yang ingin memperoleh tujuannya secara instan. Sebetulnya mereka sudah tahu apa yang harus diperbuat ketika menghadapi suatu masalah. Bahkan bisa mengidentifikasi kesulitan atau kendala yang mereka alami.
Akan tetapi, mereka tidak mampu membuat dirinya keluar dari kondisi tersebut. Meraka justru dibuat sibuk untuk terus mencari tips cepat, teknik praktis dan terobosan lain yang lebih manjur.
Motivasi bukanlah dari buku, seminar, atau pun orang lain, tetapi ada pada diri sendiri. Akan menjadi percuma meminta dan mendapatkan motivasi dari banyak pihak tanpa diiringi rasa ingin berubah dalam diri sendiri.
Seperti kata Nietzsche, “kamu harus menjadi orang seperti dirimu sendiri.”
Tapi, tidak semua buku motivasi seperti itu ya …
Penulis: Rizki Nur Fadilah