
Freemasonry dan komplotan dengan sebutan “para penyembah setan” lainnya seringkali dianggap sebagai dalang dari kerusuhan dunia. Mulai dari peristiwa penyerangan World Trade Center (WTC) pada tanggal 9 November, Depresi Besar ekonomi pada tahun 1920-an, pendanaan perang dunia ke-2 hingga rencana mulus menjadikan dolar sebagai mata uang internasional.
Narasi-narasi besar beredar di media sosial akhirnya membentuk serangkaian teori konspirasi yang begitu menggairahkan. Teori konspirasi menjadi konten yang dipercaya tanpa memerhatikan kaidah-kaidah epistemik. Hal ini bertolak belakang dengan novel The Lost Symbol karya Dan Brown yang menceritakan seorang pria bernama Robert Langdon berurusan dengan komplotan Freemasonry.
Alih-alih digambarkan dengan narasi yang menyeramkan, komplotan Freemasonry justru digambarkan sebagai sekumpulan orang-orang tua bangka yang berintelektual. Dan Brown justru menggambarkan Freemasonry sebagai sekelompok orang yang mempelajari apa yang disebut sebagai “filosofi esoteris.”
Robert Langdon sebagai seorang simbolog (orang yang mempelajari simbol-simbol) dengan berat hati harus mengurus perselisihan dalam komplotan Freemasonry yang memperebutkan “kebenaran sejarah kuno.” Persinggungannya dengan kelompok yang disebut sebagai “penyembah setan” itu memberinya pemahaman bahwa ternyata Freemasonry adalah sekelompok orang yang cinta akan ilmu pengetahuan.
Mark Booth dalam bukunya yang berjudul “The Secret History of the World” menerjemahkan “filosofi esoteris” sebagai sebuah filosofi kuno yang dipelajari oleh Freemasonry secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Pemikiran-pemikiran dalam filosofi esoteris erat kaitannya dengan tradisi-tradisi dari berbagai kebudayaan masyarakat kuno. Mark Booth menulis dalam bab enam tentang kisah seksualitas, perselingkuhan, dan kekuasaan dalam mitologi mesir kuno.
Osiris, sang pahlawan
Dalam mitologi Mesir Kuno, Osiris dikenal sebagai seorang pahlawan. Ketika kembali dari peperangan, ia disambut dan disanjung oleh masyarakat Mesir. Sorak-sorai membahana memenuhi langit-langit istana.
Sayangnya, tuduhan perselingkuhannya dengan Nepthys membuat Seth, saudara laki-lakinya berencana untuk membunuhnya. Seth memutuskan untuk membuat pesta besar di kediamannya dan menyiapkan peti mati berlapiskan emas dan permata untuk Osiris.
Peti mati Osiris kemudian hanyut dan terdampar di Pantai daerah yang sekarang disebut sebagai Suriah. Kabar kematiaannya bergema ke seluruh penjuru negeri menyebabkan krisis politik besar di Mesir Kuno.
Masyarakat Mesir kuno menganggap Osiris sebagai mitos kesuburan erat berkaitan dengan pertanggalan musim. Seperti kemunculan bintang Sirius di cakrawala menandakan bahwa Osiris telah bangkit dan akan terjadi banjir besar di Sungai Nil.
Sedangkan secara geografis, Mesir sangat bergantung dengan Sungai Nil sebagai salah satu sumber kehidupan, terutama untuk pertanian. Artinya, cerita tersohor tentang Osiris memberi makna bahwa pemahaman manusia yang lahir dari pemikiran dan imajinasi membantu manusia dalam memahami fenomena di alam semesta.
Benang merah mitologi dan sains
Mitologi dan sains bagi kebanyakan orang ibarat air dan minyak, tak dapat disatukan. Tetapi, sebenarnya mitologi hadir untuk menambah khazanah intelektual manusia. Sayangnya, posisi mitologi dalam khazanah intelektual kita hanya dianggap sebagai cerita dongeng yang tak jelas kebenarannya.
Secara historis, spesialisasi keilmuan lahir dari perseteruan sengit antara rasionalisme dengan empirisme tentang kebenaran realitas. Perseteruan tersebut melahirkan pemahaman positivisme dengan berbagai metodologi yang pasti. Wacana penggabungan antara mitologi dan sains tidak hanya menawarkan penjembatanan dengan hal-hal yang berkaitan dengan spiritualitas, tetapi juga jawaban atas hakikat realitas tentang yang “ada”.
Argumentasi Mark Booth tentang kritiknya terhadap sains modern disebabkan semakin mencuatnya pemahaman material (dalam karyanya The Secret History of the World). Para cendekiawan dan peneliti seringkali tak percaya kepada hal-hal yang berbau metafisik. Pemahaman material memang melahirkan kemajuan pesat untuk peradaban manusia, akan tetapi di sisi lain justru menimbulkan adanya pembatasan pada pikiran untuk lebih imajiner.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh penganut anarkisme pengetahuan, Paul Feyerabend tentang “anything goes”, bahwa sains tak dapat menentukan kerigid-an suatu bangunan metodologi. Filosofi esoteris seakan memberi solusi baru terhadap proses pencarian kebenaran yang tak lagi berpacu pada metodologi, melainkan ke-radikalan dalam berpikir dan imajinasi sebagai penyokong.
Stephen Palmquist dalam bukunya yang berjudul “The Tree of Philosophy” menjelaskan sebetulnya mitologi juga merupakan ranah konstruksi pemikiran manusia terhadap suatu fenomena. Misalnya, dunia lahir karena ada pertarungan antara roh baik dan buruk yang merupakan hasil konstruksi masyarakat tertentu.
Menurut Palmquist, mitologi merupakan konsep kerangka awal pemikiran manusia sebelum lahir rasionalisme Rene Descartes di Eropa bahkan realisme Aristoteles. Posisi mitologi dalam kebudayaan Yunani merupakan titik sentral yang akan memengaruhi sejarah pemikiran filsafat barat kemudian. Agaknya, Palmquist mengajak kita untuk melihat mitologi tak hanya sebatas cerita atau legenda tetapi melihatnya sebagai filsafat pertama bagi umat manusia.
Wacana penjembatanan antara mitologi dan sains sebetulnya bukan sesuatu yang baru dalam ranah keilmuan modern. Apakah sebetulnya sains modern justru menghalangi kebebasan berpikir manusia?
Penulis: Moehammad Alfarizy