Beberapa dari kita pasti pernah terbesit tentang begitu rumitnya struktural yang terletak di dalam satu tubuh manusia. Lantas, bagaimana dengan berjuta-juta manusia yang telah ada, seberapa banyak susunan yang diperlukan?
Jawaban dari pertanyaan itu ada pada kebesaran Tuhan yang diberikan kepada makhluknya. Tuhan menciptakan manusia lengkap dengan ‘mesin penggeraknya’ yang tak lain adalah organ dalam tubuh setiap manusia.
Organ-organ yang dalam diri setiap manusia itu tentu tak akan selamanya bekerja dengan lancar. Ada masanya mereka lelah untuk bekerja. Ketika organ-organ dalam tubuh mengalami kerusakan, adakah pengobatan yang bisa diupayakan? agar organ pemberian Sang Pencipta bisa kembali bekerja dengan baik.
Jawabannya, ada. Semua penyakit, pasti ada obatnya. Sebagaimana hadis oleh umat Islam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, “Tidaklah Allah menurunkan satu penyakit melainkan Allah telah menurunkan untuknya obat penyembuh”. Artinya, Allah SWT tidak akan menurunkan suatu penyakit, jika tidak ada obat penyembuhnya.
Kilas Balik Transplantasi
Pada pertengahan tahun 50-an, istilah transplantasi atau Naqlu al-A’da Zira’a al-A’da’i mulai populer di dunia kedokteran. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Indonesia Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Organ Tubuh Manusia, Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan alat dan atau jaringan organ tubuh manusia yang berasal dari tubuh sendiri atau tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat atau jaringan organ tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
Istilah transplantasi telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Transplantasi kulit dikenal dalam manuskrip Mesir 2000 SM. Hal ini dibuktikan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi: “Dari Abdurrahman bin Tharfah, bahwa kakeknya yang bernama ‘Arfajah bin As’ad pernah terpotong hidungnya dalam Perang Kulab, kemudian ia memasang hidung palsu dari logam perak. Namun, hidung tersebut mulai bau busuk. Lalu, Nabi SAW menyuruhnya untuk memasang hidung palsu dari emas.”
Transplantasi organ dilakukan bukan tanpa tujuan. Dalam Undang-undang (UU) Republik Indonesia Nomor 23 Pasal 33 Ayat 2 Tahun 1992 tertulis bahwa transplantasi hanya boleh dilakukan untuk tujuan kemanusiaan dan tidak boleh dilakukan untuk tujuan komersial.
Transplantasi bisa dilakukan pada beberapa organ, seperti jantung, paru-paru, liver, pankreas, kornea, ginjal, kulit, dan trakea. Berdasarkan sifat pemindahan organ atau jaringan tubuh yang dipindahkan, terdapat empat jenis transplantasi, yaitu autograft, allograft, xenograft, dan isograft.
Transplantasi organ memunculkan permasalahan dari segi hukum Islam dan etis bermasyarakat. Oleh karena itu, ulama kontemporer memiliki perbedaan pendapat akan hal ini.
Kiblat Hukum Islam
Berdasarkan penelusuran saya dari beberapa jurnal, para ulama kontemporer memperbolehkan transplantasi organ. Salah satunya adalah Yusuf Qardhawi, ulama Sunni dari Mesir. Dirinya memperbolehkan transplantasi dengan syarat (muqayyad) organ yang didonorkan bukanlah organ vital seperti rahim serta organ yang hanya satu-satunya, seperti hati dan jantung karena dirinya tidak akan bisa hidup tanpa organ ini.
Seseorang juga tidak boleh mendonorkan organ tubuh yang akan meninggalkan dharar (kerusakan), kemelaratan, dan kesengsaraan terhadap dirinya. Mengapa demikian? Karena Allah SWT melarang hamba-Nya untuk menghilangkan dharar orang lain dengan menimbulkan dharar pada dirinya.
Sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Al-Baqarah Ayat 195, “dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. Memang ayat tersebut tidak menjelaskan secara eksplisit tentang hukum transplantasi organ, tetapi perlu diketahui bahwa tidak ada ayat Al-Qur’an yang menyatakan hukum transplantasi secara tersurat. Maka dari itu, para ulama kontemporer melakukan ijtihad untuk memberikan pandangan terkait hukum transplantasi menurut agama Islam.
Pendapat Yusuf Qardhawi juga didukung dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 8 Maret 2019, Di dalamnya tertera bahwa seseorang tidak boleh memberikan atau menjual organ kepada orang lain. Organ tubuh bukan hak milik, maka pengambilan dan transplantasi organ tubuh tanpa adanya alasan yang dibenarkan menurut syariat adalah haram, kecuali jika ada ketentuan mendesak secara syar’i, tidak adanya ke-mudharat-an bagi pendonor, bukan merupakan organ vital yang mempengaruhi kehidupannya, dan tidak ada upaya medis lain untuk menyembuhkannya, kecuali dengan transplantasi.
Lalu, kebanyakan ulama kontemporer memperbolehkan transplantasi berdasarkan argumen bahwa hal tersebut bertujuan untuk perbaikan, didasari pada kedaruratan, dan kebutuhan.
Sementara itu, Mufti Agung Arab Saudi 1993-1999, Syaikh Abdul Aziz bin Baz tidak memperbolehkan transplantasi organ apa pun. Menurutnya, Allah SWT menciptakan rangkaian organ tubuh manusia untuk bekerja secara bersamaan. Jika salah satu organ hilang, akan berpengaruh terhadap tubuh seseorang dan fungsinya.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Memecah tulang orang yang meninggal seperti memecah tulangnya ketika masih hidup”. Mengambil organ vital, seperti jantung dan hati lebih sakit daripada memecahkan tulang.
Tokoh agama populer dan sangat penting di Mesir, Syaikh Ash-Sha’arawi juga menentang transplantasi organ dalam bentuk apa pun. Hal ini didasarkan pada ajaran agama bahwa tubuh manusia hanya milik Allah SWT, “Bagaimana anda bisa memberikan ginjal yang bukan milik anda sendiri?”. Begitulah pertanyaan Syaikh Ash-Sha’arawi.
Ketika seseorang masih hidup, maka hukum melakukan transplantasi organ tubuh donor adalah haram karena berkaitan dengan dharar seseorang. Pada saat koma sekalipun, hukumnya tetap haram karena hal ini dapat mempercepat kematian seseorang dan mendahului kehendak Allah SWT. Meskipun dokter mengatakan bahwa orang tersebut tidak ada harapan lagi untuk hidup, bahkan saat sekarat pun, tetap haram.
Hal ini juga didukung oleh para ulama mazhab yang tidak memperbolehkan transplantasi organ tubuh donor pada orang yang koma. Lalu ketika seseorang dinyatakan meninggal, organ tubuh seperti kornea mata, jantung, dan ginjal bisa didonorkan untuk transplantasi. Namun, dengan syarat pendonor sudah berwasiat kepada ahli waris bahwa dirinya akan mendonorkan organ yang dimiliki ketika dirinya sudah meninggal.
Berdasarkan fatwa MUI 29 Juni 1987 bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, pengambilan katup jantung orang yang telah meninggal untuk kepentingan orang yang masih hidup dibolehkan menurut hukum Islam, dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan. Dibolehkannya pengambilan katup jantung tersebut, sama hukumnya yang ada kaitannya dengan kornea mata dan ginjal.
Kungkungan Etika
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Oleh karena itu, tidak mungkin seseorang bisa bertahan hidup selamanya tanpa bantuan dari orang lain. Salah satu bentuk implementasinya adalah menyelamatkan nyawa seseorang dengan melakukan transplantasi organ.
Transplantasi organ menjadi ujung tombak yang perlu digunakan agar dapat menyelamatkan seseorang. Artinya, kita memberikan organ kepada orang yang benar-benar membutuhkan supaya orang tersebut tetap bisa melanjutkan hidup. Tentunya, hal ini sudah melalui pemikiran dan pertimbangan yang matang agar tidak merugikan pendonor dan resipien.
Namun, ketika proses transplantasi tersebut tidak dilakukan secara etis, hal tersebut akan bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Penyalahgunaan transplantasi organ seperti perdagangan organ secara ilegal merupakan bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia. Para pendonor yang menjadi korban penyalahgunaan transplantasi organ sering kali dieksploitasi, dipaksa, serta diperlakukan secara tidak adil.
Transplantasi tanpa persetujuan penuh dari pendonor tidak mencerminkan nilai kemanusiaan yang benar. Badan kesehatan dunia memperkirakan terdapat 10% dari jumlah permintaan organ tubuh yang tidak terpenuhi sehingga penjualan organ tubuh secara ilegal terus meningkat.
Selain itu, pendistribusian organ tubuh harus dilakukan secara adil kepada yang membutuhkan tanpa harus memandang status sosial, ekonomi, ras, atau faktor lainnya.
Terlepas dari semua hal tersebut, sudah menjadi tanggung jawab bersama untuk memastikan tidak adanya penyalahgunaan transplantasi organ. Dimulai dari hal yang paling sederhana, dengan menanamkan pendidikan kepada masyarakat tentang etika transplantasi organ serta pentingnya menghormati hak-hak setiap individu.
Revina Annisa Fitri