
Datangnya Ramadan menjadi bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat muslim di seluruh dunia. Pasalnya, bukan hanya bahagia menyambut bulan yang penuh rahmat, tapi juga tradisi dan budaya yang menyertainya.
Tradisi yang tidak bisa dilewatkan begitu saja setiap Ramadan adalah berburu takjil. Berburu takjil identik dengan mencari bermacam makanan untuk disantap saat berbuka. Kata berburu menjadi bentuk penggambaran suasana penuh semangat dan kegembiraan ketika mencari takjil. Tradisi takjil menjadi simbol kebersamaan dan kedermawanan di berbagai lapisan masyarakat.
Tahun lalu, media sosial ramai memperbincangkan soal “war takjil”. Pasalnya, umat islam dan non-islam saling berburu takjil menjelang berbuka, bahkan umat non-islam melebihi umat islam sendiri. Mereka beramai-ramai mencuri start sejak jam tiga sore.
Gurauan war takjil ini bahkan dibicarakan oleh seorang pendeta, Marcel dalam khutbahnya, “Soal agama kita toleran, tapi soal takjil kita duluan”, yang kemudian dibalas gelak tawa jemaahnya.
Alih-alih mendapat cibiran negatif, ucapan sang pendeta dibalas oleh umat muslim dengan candaan juga. Dalam beberapa komentar menyebutkan bahwa nantinya saat paskah umat muslim akan balas menghabiskan telur paskah.
Peristiwa war takjil ini jelas mendapat respons positif dengan bertebarannya komentar lucu di dunia maya. Momen war takjil tanpa memandang status agama seolah memperlihatkan kerukunan di Indonesia.
Sejatinya, esensi takjil tidak hanya terletak pada momen berburu hidangan manis yang disajikan untuk berbuka puasa. Takjil sendiri memiliki makna yang dalam pada konteks sosial. Membeli takjil menjadi sebuah momentum pertemuan antara dua kaum yang memberikan nuansa kedamaian.
Banyak masyarakat kemudian akan dihadapi dengan fakta bahwa di sekelilingnya memang terjadi suatu diferensiasi sosial dalam ranah agama. Persis seperti yang dikatakan J.S Furnivall (1990) dalam konteks sosiologi, ciri masyarakat yang majemuk ialah terjadinya interaksi sosial persilangan (interaksi) antar berbeda agama, etnis, dan juga ras.
Dari hal sekecil dan sesederhana takjil, ternyata memiliki makna yang begitu dalam pada lingkaran sosial kita. Dari manisnya hidangan takjil, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih hangat, ramah, dan inklusif, juga menerapkan nilai persatuan dan kesatuan. Memperluas lingkaran persaudaraan dan membangun jembatan antar kelompok sosial.
Penulis: Hasna Nurul Afifah
Editor: Eka R.