Terlahir menjadi anak dalam sebuah keluarga bukanlah pilihan. Hakikatnya setiap anak merupakan anugerah dan titipan dari Tuhan Yang Maha Esa. Salah satunya, kelahiran anak pertama yang kehadirannya banyak ditunggu oleh banyak orang. Namun, akankah euforia kehadiran anak pertama dalam sebuah keluarga akan turut membawa kebahagiaan juga pada anak tersebut?
Ada stereotip anak pertama yang kerap kita dengar hari ini yaitu anak pertama adalah contoh bagi adik-adiknya, tulang punggung keluarga, bahkan dituntut untuk menjadi sukses. Diksi ini selaras dengan teori empirisme dalam perkembangan sosial anak yang dipopulerkan oleh John Locke (1632-1704). Di mana sejatinya setiap manusia yang baru lahir diibaratkan sebagai kertas putih bersih yang akan tumbuh dan berkembang. Artinya, seorang anak sangat tergantung dan terpengaruh oleh lingkungan dari luar.
Ekspektasi tinggi dari orang-orang sekitar pada anak pertama membuat anak tersebut rentan mendapatkan beban kerja yang tidak proporsional atas anak tertua di rumah tangga miskin. Maksud dari tidak proporsional di sini adalah anak pertama menanggung beban lebih banyak dibandingkan saudara-saudaranya.
Beban yang ditanggung bisa berupa beban fisik dan psikis. Emosional yang kerap menciptakan ambisi untuk sukses dan memuaskan harapan orang tua, secara tidak disadari hal tersebut akan menjadi tekad setiap anak pertama. Tak jarang pencapaian dan kesuksesan anak pertama kerap dijadikan sebagai tolok ukur kesuksesan orang tua dalam mendidik anaknya.
Hal ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk anak pertama, terutama bagi anak Perempuan. Kondisi ini biasa disebut dengan istilah eldest daughter syndrome. Dilansir dari Cosmopolitan, istilah ini bukanlah kondisi psikologis atau label yang diakui secara resmi. Namun, lebih merujuk kepada anak perempuan tertua yang memikul beban mental untuk keluarganya, melakukan pekerjaan emosional dan tugas domestik untuk keluarganya, hingga menanggung ekspektasi keluarga sejak kecil.
Dinamika antara harapan orang tua dan kondisi anak perempuan pertama seolah menjadi perang batin tersendiri bagi sang anak. Namun, kondisi ini juga bisa terjadi pada anak laki-laki, tetapi anak perempuan pertama cenderung akan merasakan beban yang lebih besar karena adanya harapan sosial bahwa perempuan harus mengambil tanggung jawab ekstra dalam mengurus rumah tangga maupun mendidik anak. Dampak dari tekanan ini ialah ada jiwa seorang anak yang terluka karena minimnya rasa peduli orang tua terhadap anak pertama.
Peran krusial orang tua
Dalam mendidik anak pertama, orang tua juga masih banyak belajar menyesuaikan diri atau beradaptasi karena sebelumnya mereka tidak memiliki pengalaman mengasuh anak. Hal semacam ini sebenarnya bisa diatasi dengan menjalin kedekatan emosional antara anak pertama dan orang tua sebagai proses membentuk karakter, sifat, dan pola berpikir anak.
Tentu banyak sekali perbedaan parenting yang diterapkan pada anak oleh orang tua. Bukan antar orang tua saja, orang tua pada anak-anaknya juga terkadang akan mendidik dengan laku yang berbeda. Kita tidak bisa menjustifikasi secara langsung jika pola asuh pada anak kedua, ketiga, dan selanjutnya terlihat lebih baik dari pada saat mengasuh anak pertama.
Dalam agama Islam sendiri terdapat ayat Al-Qur’an yang menekankan pentingnya adil dalam memperlakukan anak-anak, tanpa membedakan berdasarkan jenis kelamin atau urutan kelahiran (QS. An-Nisa [4]: 11-12). Perbedaan dalam memperlakukan anak pertama dengan saudaranya yang lain akan membuat sang anak merasa dibedakan.
Pentingnya komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan perintah atau nasihat, tetapi juga sebagai sarana untuk mendengarkan dan memahami perasaan serta kebutuhan anak. Dengan komunikasi yang baik, orang tua dapat membangun hubungan yang lebih erat dengan sang anak sehingga anak merasa dihargai dan didengar. Hal ini bisa membantu mengurangi perasaan dibeda-bedakan di antara saudara kandung dan memastikan bahwa setiap anak merasa mendapatkan perhatian yang adil.
Konsistensi dalam cara mengasuh dan berekspektasi dalam batasan yang wajar akan membuat anak-anak lebih mudah memahami batasan dalam belajar dan bermimpi. Perlu kerja sama orang tua dalam menerapkan aturan pada anak yang sejalan sehingga anak akan merasa diperlakukan adil.
Sejatinya terlahir menjadi anak, baik anak sulung, tengah, maupun bungsu adalah kehendak yang tak bisa kita tolak. Menjalani hidup sebagaimana semestinya lebih penting ketimbang harus membanding-bandingkan satu sama lain. Sah-sah saja orang lain berekspektasi tinggi. Namun, bagaimana arah hidup ke depannya adalah pilihan setiap orang.
Saskia Rida Natasya