Hampir setiap hari saya membuka berbagai media sosial, khususnya Whatsapp (WA). Selain berfungsi sebagai medium komunikasi, lewat WA juga saya mengamati aktivitas dan kondisi kejiwaan sebagian teman saya. Apa yang sedang dia lakukan, rasakan, dan pikirkan. Mungkin teman saya juga melakukan hal yang sama terhadap saya.
Memang, saya sering menulis yang terpikirkan di story WA. Baik mengenai isu sosial, politik, atau agama. Namun, kadang saya merasa kecewa di lain waktu. Apa yang saya tulis tidak bisa saya akses kembali. Ia hanya bertahan selama 24 jam. Hal yang sama juga terjadi kala saya ingin melihat kembali apa yang dituliskan oleh teman saya tempo hari. Padahal, sering saya temui pikiran-pikiran mencerahkan yang dituliskan mereka di story WA. Sirna.
Kita tahu, daya ingat manusia tidak abadi. Karenanya, tulisan berperan untuk mengabadikan apa yang terfikirkan dalam otak manusia. Pramudiya Ananta Toer juga berkata “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Agaknya, ungkapan Pram di atas tidak berlaku bagi para penulis story WA. Dalam hal ini, Facebook, Twietter, dan Instagram, setingkat di atas WA. Pun begitu, ketiga media sosial tersebut memiliki kelemahan. Kita harus terus menyekrolnya ke bawah untuk melihat arsip tulisan kita. Mungkin tidak berat, jika hanya mencari apa yang kita tulis sepekan, atau sebulan yang lalu. Namun bayangkan jika, kita ingin melihat kembali tulisan kita, setahun, dua tahun, atau bahkan lima tahun yang lalu. Tentu begitu menyusahkan.
Dalam hal ini, untuk mengabadikan tulisan tentu medium yang paling tepat adalah di blog. Baik pribadi ataupun milik orang lain. Asalkan kita menginggat kata kunci yang pernah dituliskan saja, kita tetap bisa mengaksesnya di mana pun dan kapan pun, asalkan ada jaringan internet.
Selamat menulis untuk keabadian, bukan sensasi sesaat…..