“Banyak anak banyak rezeki”
Itulah pepatah yang sering terdengar di telinga masyarakat umum. Bermula ketika Perang Diponegoro (1825-1830) yang mengorbankan kurang lebih 200 ribu nyawa. Karena hal itu, belanda berutang 32 juta gulden.
Van Den Bosc, yang saat itu adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengusulkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) untuk menyelamatkan krisis ekonomi.
Yang dibutuhkan bukan hanya soal prasarana, melainkan tenaga kerja yang berlimpah serta murah. Masyarakat diberikan tanah agar nantinya bisa menagih pajak yang kemudian diganti dengan tanam paksa. Pajak itu memberatkan petani, sehingga mereka cenderung ingin punya keluarga yang banyak agar bisa menggarap tanah.
Jika ditelisik kembali, terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi pepatah banyak anak banyak rezeki. Ada perbedaan antara realitas zaman dahulu dengan sekarang dan keterkaitan mengapa anak dikatakan sebagai rezeki.
Dahulu, mayoritas masyarakat Jawa berasal dari kalangan agraris. Dalam hal ekonomi, menjadi petani merupakan profesi utama untuk mencari nafkah. Ada dua pola utama yang menjadikan syarat penting dalam pola ekonomi agraris. Pertama, tanah atau lahan. Kedua Sumber Daya Manusia (SDM).
Dengan memakai sudut pandang sederhana, maka kehadiran anak di kalangan orang tua petani memiliki anggapan sebagai modal berbentuk SDM.
Semakin banyak anak yang dimiliki, semakin banyak pula rezeki yang diperoleh. Karena SDM yang membantu produksi di sawah juga bertambah. Kesalahpahaman pepatah ini diasumsikan dengan jumlah anak berbanding lurus dari potensi produksi di sawah.
Kesiapan Sebelum dan Sesudahnya
Melihat kalangan pekerja sekarang sudah masuk pada zaman industrialisasi, di mana kompetensi pekerja ditentukan oleh skill yang ia punya. Seseorang harus memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus yang spesifik. Spesialisasi merupakan syarat utama untuk masuk dunia kerja industrialisasi.
Jika dilakukan perbandingan antara Indonesia dengan Korea Selatan. Mereka memberikan uang Rp350 juta kepada keluarga yang baru saja melahirkan. Indonesia, ketika masyarakatnya melahirkan tidak diberi apa-apa.
Faktor krisisnya populasi di Korea Selatan menjadi bagian dari tolok ukur mengapa pemerintah Korea Selatan memberikan uang untuk masyarakat yang baru saja melahirkan.
Ini juga tentang membuat, melahirkan, hingga membesarkan perlu dipersiapkan dengan benar. Di Indonesia, bukan malah krisis populasi melainkan overload populasi. Melansir dari World Population Review, per 4 Maret 2024, populasi Indonesia meningkat sekitar dua juta penduduk dari tahun 2023. Di tahun ini penduduk Indonesia mencapai 279.072.446.
Kesalahpahaman masyarakat serta relevansi pepatah banyak anak banyak rezeki adalah hal yang perlu direfleksi, bahwa pepatah tersebut tidak pas dipakai di zaman industrialisasi pekerja.
Perkara melahirkan dan membesarkan satu anak, dibutuhkan persiapan matang. Bentuk dari tanggung jawab agar nantinya sang anak cerdas dan tidak menjadi pengangguran.
Penulis: Rahmat Setiawan
Editor: Revina A