Quaritch Wales mencetuskan istilah kearifan lokal dalam disiplin Antropologi sebagai local genius. Local genius dimaknai sebagai penerimaan budaya asing oleh kebudayaan setempat sehingga memungkinkan terjadinya akulturasi. Namun, dapatkah penerimaan budaya asing diimplementasikan dengan baik kala modernitas berkembang?
Namun, dalam realita justru modernitas menjadi pemicu lunturnya kearifan lokal. Senada dengan ungkapan Anthony Giddens, bahwa modernitas berisiko merapuhkan tiang-tiang peradaban tradisionalisme.
Modernitas membuat masyarakat semakin teredukasi dan berkembang dalam ranah ilmu pengetahuan serta teknologi. Di samping hal positif yang disuguhkan, ada beberapa dampak modernitas yang menjadi ancaman serta dapat merenggut identitas bangsa.
Minimnya Minat Masyarakat Indonesia terhadap Kearifan Lokal
Di Indonesia, kearifan lokal menjadi pandangan hidup yang terwujud dalam berbagai ranah kehidupan seperti nilai sosial dalam masyarakat. Salah satu nilai yang dapat ditemui adalah tolong menolong yang terwujud dalam kegiatan gotong-royong.
Di era kekinian, generasi muda kurang akrab dengan berbagai nilai kearifan lokal. Selanjutnya membuat retasnya ikatan generasi muda dengan jati dirinya sebagai penerus yang akan mewarisi identitas bangsa. Sebagian besar dari mereka terbawa mengikuti arus modernitas. Dapat dilihat dari maraknya generasi muda yang berperilaku, berpenampilan, hingga memiliki gaya hidup berkiblat pada budaya asing.
Kurangnya minat dalam melestarikan kearifan lokal menjadi salah satu faktor lunturnya tradisi. Berdasarkan analisis kearifan lokal Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan (PDSPK) pada tahun 2016, tercatat hanya 5,90% penduduk melakukan kunjungan ke warisan budaya. Hasil olah SUSENAS MSBP 2015 juga menunjukkan sebanyak 70,2% masyarakat tidak menyaksikan pertunjukan seni budaya dalam kurun waktu tiga bulan.
Hal itu terjadi karena kurangnya pengetahuan akan potensi kearifan lokal. Edukasi pentingnya kearifan lokal tak sebanding dengan arus modernitas yang berkembang di lingkungan anak muda. Tentunya hal itu mengancam identitas bangsa sehingga kearifan lokal semakin kabur dari perhatian generasi terkini.
Tradisi yang memudar tidak dappat dibiarkan lebih lama. Sebagai langkah preverentif, edukasi kearifan lokal dapat dimasukkan sebagai pendidikan formal yang wajib diterima oleh generasi ke generasi. Nilai-nilai tradisional juga dapat diterapkan dan dikenalkan sejak dini, sehingga setiap generasi tetap merasa akrab dengan budaya di sekitar.
Tentunya kita tak ingin hidup tanpa identitas, hidup hanya dengan mengalir hanyut pada budaya asing. Melestarikan budaya lokal dalam keseharian adalah upaya untuk tetap memertahankan identitas. Jika bukan generasi masa saat ini, lalu siapa yang akan menyambungnya?
Penulis: Najwa Alfasahra Zen