
Ketika dihadapkan pada sebuah pekerjaan, orang-orang seringkali menaruh harapan besar pada sebuah hasil. Namun, seringkali pula apa yang diharapkan tak selalu linier dengan yang direncanakan. Efeknya, orang-orang mengalami stres berkepanjangan bahkan depresi yang sulit disembuhkan.
Kita sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang penuh pengharapan. Hidup tanpa harapan adalah sebuah kesalahan. Dengan harapan, apa yang menjadi angan-angan akan mudah tercapai.
Kita juga sepakat jika harapan adalah kondisi utopis yang terus dipelihara. Dari harapan, orang-orang akan terus menggantungkan cita-cita di balik setiap keinginan.
Dalam islam, kita memang diperbolehkan untuk berharap (roja’). Syaikh Utsaimin berkata: “Roja’ adalah keinginan seorang insan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam jangka dekat maupun jangka panjang yang diposisikan seperti sesuatu yang bisa digapai dalam jangka pendek”. Bahkan, Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya penggerak hati menuju Allah ‘azza wa jalla ada tiga: Mahabbah (cinta), Khauf (takut) dan Rajaa’ (harapan).
Harapan yang dalam bahasa arab disebut sebagai roja’ memang baik ketika dilakukan sesuai porsi. Artinya, antara usaha dan pengharapan yang dilakukan manusia bersifat seimbang. Mereka tidak terlalu bergantung pada harapan yang membuat usaha menjadi berkurang.
Harapan yang dikelola secara baik bisa menghindarkan manusia dari sumber kekecewaan dan mencegah manusia bersikap berlebihan. Seperti kata pengarang asal Amerika dalam bukunya,
“Jalan yang dibuat di atas dasar harapan akan lebih menyenangkan dibandingkan jalan yang dibuat atas dasar keputusasaan, meskipun keduanya memiliki tujuan yang sama.”
Namun, apa yang terjadi jika kemudian manusia selalu bergantung pada harapan? Sesuatu yang bahkan belum tentu terjadi?
Friedrich Wilhelm Nietzsche, seorang filsuf kelahiran Jerman menentang keras harapan. Bagi Nietzsche harapan hanya akan membuat manusia menjadi makhluk paling lemah. Padahal, manusia menurut Nietzsche haruslah menjadi makhluk paling kuat, yang kemudian mendasari lahirnya pemikiran Nietzsche tentang Ubermensch. Manusia yang bahkan berani menanggung penderitaan dan tetap berkata “Ya” menerima dunia tanpa melarikan diri dari takdir.
Utopisnya makna harapan ini bahkan disebut Nietzsche dalam sabda Zarathustra sebagai bentuk penderitaan manusia berasal dari harapan.
Barangkali, apa yang dikatakan Nietzsche ada benarnya. Secara tidak langsung, harapan memengaruhi kerancuan alam pikiran sadar kita. Harapan justru akan membuat candu bagi manusia. Mereka terlalu percaya akan hal baik sesuai ekspetasi harapannya, sehingga melemahkan dorongan untuk berusaha melakukan sesuatu dalam mewujudkan secara penuh harapan tersebut.
Penulis buku “The Anatomy of Hope”, Jerome Groopman, mengatakan harapan yang keliru dapat menuntun kita ke arah pilihan-pilihan yang berlebihan dan pengambilan keputusan yang keliru pula.
Penulis: Agung Prastio