Tak bisa dipungkiri dalam kehidupan kita sering terjebak dalam simbol-simbol kehidupan. Seperti susah-senang, sehat-sakit, miskin-kaya, kuat-lemah dan simbol-simbol lainnya.
Bahkan terkadang kita hanya terlena dengan simbol kata, definisi yang kita percayai. Misal orang yang memiliki fisik yang utuh dan semuanya berfungsi dianggap lebih sempurna dengan kelebihannya. Begitu sebaliknya mereka yang dalam hal fisik kurang, dianggap kurang sempurna.
Seperti pernah suatu ketika saya menyaksikan di salah satu stasiun televisi, seorang penyandang disabilitas mahir dalam memainkan gitar. Meskipun pada kedua tangannya tidak memiliki jari.
Sungguh nalar saya terlumpuhkan oleh aksi tersebut. Sebab, orang yang dikaruniai fisik yang lengkap dan berfungsi, banyak yang tidak bisa memainkan gitar.
Sepenggal kisah saya tersebut kiranya dapat diambil sebagai sebuah gambaran dan pelajaran bahwa memang kita sedang hidup dalam panggung sandiwara. Dalam konteks kemampuan tersebut, saya terjebak pada simbol indikator yang salah. Bahwa meskipun dalam keadaan kekurangan pun seseorang bisa berbuat lebih dari yang dianggap sempurna.
Hal itu merupakan salah satu contoh kecil, simbol kehidupan yang ada telah mengelabuhi kita.
Seolah kebenaran terkait kehidupan dianggap sebagai sebuah panggung sandiwara itu memang terjadi. Di mana kita manusia berposisi sebagai aktor, bagi kehidupan kita sendiri. Maka tak lebih untuk menjadi aktor, meskipun dikaruniai fisik yang kurang pun kita tetap bisa mengalahkan aktor lain yang memiliki kondisi lengkap dan berfungsi. Hanya tergantung bagaimana dan sejauh mana kita berusaha untuk menjadi aktor terbaik.
Sebelumnya istilah kehidupan sebagai panggung sandiwara kiranya telah dikenalkan oleh William Shakespeare melalui naskah dramanya yang berjudul As You Like It. Dalam naskahnya ia mengumpamakan dunia sebagai sebuah panggung sandiwara dan kehidupan manusia seperti sebuah sandiwara.
Di dalam naskah tersebut pun juga diterangkan bahwa terdapat tujuh tingkatan usia manusia, yaitu: bayi, anak sekolah, pecinta, prajurit, keadilan, pantaloon, dan masa kanak-kanak kedua, “tanpa gigi, tanpa mata, tanpa rasa, tanpa semuanya”. Dijelaskan bahwa sejak manusia lahir, manusia telah memasuki dunia teater dan terus berakting sesuai usia mereka hingga usia tua mereka ketika episode yang terakhir dimainkan.
Tentu benar seperti yang sering kita dengar bahwa hidup adalah panggung sandiwara. Meski garis besar alur cerita dan konsekuensi setiap peran telah ditentukan, namun tidak menutup kemungkinan sang aktor mampu bersikap diluar skenario.
Sering kali seseorang merasa tidak puas dengan alur ceritanya, sehingga memaksakan diri untuk bertindak di luar jalurnya. Seolah menolak fakta bahwa hidup memang begini adanya.
Dari sini kita dapat belajar bahwa hidup ini tidak sepenuhnya tentang kebenaran. Banyak manusia bersikap palsu untuk menghadapi persoalan dalam drama hidup. Karena setiap orang memiliki sisi lain di dalam dirinya. Dan menjadi aktor terbaik atas dirinya pula.
Penulis: Zulfiyana Dwi H