
Menjelang Pemilu 2019, beberapa bulan lalu wisatawan demokrasi di Indonesia dihebohkan dengan kemunculan sosok baru dalam diri Nur Hadi-Aldo, yang secara diam-diam mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia.
Pasangan fiktif yang bertemu di media sosial itu, dengan berani mengajukan diri ke KPU untuk menjadi penantang serius dua calon sebelumnya yang telah bertarung sejak edisi 2014 lalu.
Strategi tronjal-tronjol adalah bukti keseriusan mereka dalam menghadapi muramnya wajah demokrasi Indonesia. Mengusung prinsip 5S (Salam, Senyum, Sapa, Sopan, Santun), taktik ini terbukti ampuh ketika diterapkan.
Benar saja, baru dua minggu melakukan kampanye, pendukung Nur Hadi-Aldo sudah mencapai angka 81.000. Hebatnya lagi, pasangan ini hanya mempunyai 8 orang Tim Sukses yang rata-rata berusia 17-23 tahun (BBC.com, 22/02/19).
Hal ini tak lepas dari prinsip 5S yang diterapkan pasangan nomor urut 10 ini dalam merebut hati pendukungnya. Sebuah prinsip yang tak tercantum dalam rancangan kampanye paslon lain.
Melihat lawannya menjadi idola baru, dua kubu paslon lain merasa terpojokkan. Berbagai jalan kampanye pun mereka lakukan demi mengamankan jumlah dukungan. Namun, tetap saja tidak ada perubahan. Justru semakin hari dukungan terhadap Nur Hadi-Aldo semakin bertambah.
Tak sampai di situ, pesona Dildo (sapaan akrab Nur Hadi-Aldo) membuat sejumlah pendukung paslon lain berhijrah ke pasangan ini. Mereka menganggap, Dildo adalah dua sosok yang tepat untuk membawa perubahan negara.
Maklum saja, pelbagai permasalahan tumbuh subur di daratan Indonesia. Satu masalah dipangkas, seribu masalah semakin menjamur.
Elektabilitas menurun?
Setelah mendekati hari pesta demokrasi, elektabilitas Nur Hadi-Aldo tiba-tiba saja menurun. Padahal, dalam kampanye yang dilakukan jelas menunjukkan geliat lonjakan pendukung. Adanya penurunan ini sudah barang tentu menjadi masalah besar bagi Tim Sukses paslon dengan nomor urut 10 ini.
Gelagat penurunan mulai dirasakan Aldo sejak debat Capres dan Cawapres putaran pertama dan kedua. Menurutnya, penurunan ini wajar sebab pada debat yang lalu, pihaknya banyak kalah argumen dengan paslon lain.
Bukan hanya itu, kurangnya persiapan dan seringnya mengadakan kampanye membuat mereka kecolongan dalam hal materi debat. Anggota Tim Sukses yang hanya berjumlah 8 orang juga menambah daftar kekalahan Nur Hadi-Aldo menghadapi gelombang dukungan.
Bandingkan, dua kubu lain yang mempunyai banyak Tim Sukses, kini berbalik menyerang Dildo. Bahkan ketika debat berlangsung, banyak argumen kelas dewa terlontar dari mulut mereka. Tak heran jika kemudian Dildo terdiam dan hanya bisa mengangguk tak paham.
Minim dana kampanye
Terpuruknya posisi Nur Hadi-Aldo dalam Pilpres kali ini, membuat banyak pihak saling berlomba melontarkan kata-kata dan menerka penyebab turunnya pesona pasangan yang murah senyum ini.
Tak pelak, anggapan mengenai kurangnya dana kampanye menjadi hipotesis yang mencuat ke permukaan. Tak sepeser pun rupiah keluar dari kantong mereka. Bandingkan dengan dua paslon lain yang gencar melakukan bermacam cara untuk mendapatkan suntikan dana kampanye.
Padahal, Tim Sukses Dildo memang sengaja tidak menggunakan uang sebagai alat untuk berkampanye. Namun apa boleh buat, budaya masyarakat yang menganggap uang di atas segalanya membuat pasangan ini perlahan tersisihkan.
Hal ini sesuai dengan artikel yang ditulis oleh Gerhard Horweber dengan judul Philosophie des Geldes: Wir haben die Vernunft verloren (2010), menjelaskan bahwa manusia telah kehilangan akal sehatnya dengan mendewakan uang di atas segalanya.
Andai Capres dan Cawapres Nur hadi-Aldo itu nyata, nasibnya tentu juga tak jauh beda.
Penulis: Agus Salim I.