Keluarga menjadi salah satu hal yang paling berharga bagi seseorang. Di dalam keluarga pula, karakter anak pertama kali terbentuk. Namun, tidak semua keluarga dapat mempertahankan keharmonisannya dalam waktu lama. Ada keluarga yang baru berusia lima bulan dan hancur ditengah jalan. Ada pula yang sudah bertahun-tahun berkeluarga namun tetap saja hancur.
Begitulah dinamika keluarga. Lingkungan keluarga yang tidak harmonis dan mengalami perpecahan akan mengarah pada kondisi broken home. Hal tersebut menjadi berbahaya manakala ada seorang anak yang tumbuh dalam keadaan broken home.
Kondisi keluarga yang semacam itu tentu berdampak pada aspek psikologis kehidupan anak. Anak akan cenderung berubah menjadi pendiam dan bahkan memberontak. Secara tidak langsung pun, orang tua tidak menyadari bahwa, tindakan yang mereka lakukan bisa mengundang stigma negatif yang berkembang di masyarakat tentang anak broken home.
Misalnya saja ketika anak tersebut melakukan kenakalan di luar keluarga. Masyarakat akan melabeli anak, seolah setiap tindakan atau kenakalan yang anak lakukan dianggap wajar karena alasan broken home.
Seperti yang diungkapkan oleh Psikolog, Kasandra Putranto bahwa stigma negatif yang diberikan oleh orang lain tentang anak broken home justru akan memicu mereka mengembangkan identitas atau perilaku seperti stigma yang melekat
Stigma negatif bisa saja membuat mereka membatasi diri dalam pergaulan sosial dan merasa menjadi beban. Bahkan, dalam beberapa kasus anak broken home menjadi lebih tertutup dan tak jarang juga yang terkena depresi. Seperti kasus bunuh diri yang terjadi pada remaja di daerah Tondano, Minahasa akibat perceraian kedua orang tuanya.
Akan tetapi, tidak semua hal yang berhubungan dengan broken home terlihat menyedihkan. Banyak yang dapat mereka pelajari dari kondisi yang dihadapi. Seperti menjadi lebih mandiri dan peka terhadap sekitar terutama perasaan orang lain.
Chatreen moko, salah satu penulis buku Broken Home (2013) yang membagikan pengalamannya sebagai anak broken home. Baginya, broken home tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk menghancurkan mimpi sendiri dan menghalangi dalam meraih cita-cita.
Dari apa yang mereka lalui, menjadi apa dan bagaimana menerimanya adalah cara mereka masing-masing. Orang luar hanya tahu apa yang terlihat di luar. Bukankah memberi label terhadap seseorang hanya karena keluarganya bukankah menyakiti orang lain?
Penulis: Nur Aeni Safira