
Pernahkah kalian merasa yakin bahwa hidup akan baik-baik saja? Berpikir sebenarnya kita bisa bangkit dari segala permasalahan?
Keyakinan bahwa diri bisa menghadapi segala tantangan akan membuahkan hasil yang sesuai keinginan. Hal ini karena kita akan berusaha menyiapkan segala sesuatu untuk mencapai hal tersebut. Contohnya, saat kita yakin bahwa segala masalah pasti ada solusinya, maka diri kita akan mengerahkan dan menyiapkan segala sesuatu yang ada, hingga akhirnya menemukan solusi dari permasalahan yang ada. Keyakinan diri ini disebut dengan self-efficacy. Ketika seseorang berhasil menyelesaikan masalah, maka self-efficacy akan terus bertambah.
Teori ini pertama kali dicetuskan oleh seorang penggagas teori kognitif sosial, Albert Bandura. Ia berpendapat bahwa self-efficacy sangat memengaruhi aktivitas seseorang, misalnya saat kita yakin bisa menghadapi masalah yang ada, maka pasti bisa terselesaikan.
Dalam penelitian Ati Mahsunah (2023) mengatakan bahwa orang yang memiliki self-efficacy tinggi, tingkat kepercayaan dirinya pun ikut meningkat. Hal itu dikarenakan self-efficacy merupakan komponen utama untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari apa yang dikerjakan.
Seseorang dengan self-efficacy yang tinggi juga cepat memulihkan kepercayaan setelah mengalami kegagalan dan menunjukkan bahwa hal tersebut bukan akhir dari segalanya. Mereka berpikir kegagalan yang didapatkan, dikarenakan kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam diri. Self-efficacy ini mengarahkan seseorang untuk lebih meningkatkan sumber daya, semangat, serta keyakinan akan diri sendiri.
Sebaliknya, jika seseorang memiliki self-efficacy yang rendah, maka mereka akan cepat menyerah dan hilang semangat untuk menjalani sesuatu. Seolah merasa tak ada lagi usaha yang bisa dilakukan.
Saat mengambil keputusan, orang yang memiliki self-efficacy sering kali memiliki performa yang baik dan gigih dalam menghadapi tantangan walaupun pada akhirnya hasilnya mengecewakan. Kegagalan itu bisa menjadi refleksi atas kekurangan yang dilakukan.
Adapun, faktor-faktor yang memengaruhi self-efficacy menurut Albert terbagi menjadi empat. Pertama, pengalaman. Pengalaman yang didapat dari masa lalu membuat seseorang akan lebih yakin bahwa dirinya bisa berhasil ketika permasalahan yang dihadapi mirip dengan apa yang terjadi di masa lalu. Jika hasil yang didapat positif, mereka akan meningkatkan kepercayaan diri dan otomatis hal ini memicu self-efficacy menjadi lebih baik, karena mereka merasa mampu mengatasinya.
Kedua, melihat keberhasilan orang lain. Ketika melihat orang mampu mengatasi permasalahan yang sama, maka diri akan berpikir bisa melakukan hal yang sama. Namun, jika permasalahan tersebut tidak mirip, kita tetap berpeluang berhasil melakukannya. Semua tergantung dari persepsi kita melihat permasalahan yang ada.
Ketiga, verbal persuasion. Hal ini terjadi karena adanya dorongan dari lingkungan yang meyakini bahwa kita bisa mengatasi permasalahan yang terjadi, sehingga self-efficacy dan usaha yang dilakukan akan meningkat dan lebih besar lagi. Adanya dorongan-dorongan ini menjadikan motivasi seseorang agar lebih mempersiapkan secara matang dan tidak mengecewakan orang-orang yang mendukungnya.
Keempat, emotional cues. Kondisi ini digambarkan dengan perasaan takut dan cemas yang menghantui seseorang. Saat merasa cemas, maka strategi untuk menyelesaikan masalah tidak akan tertata rapi dan muncul rasa pesimis. Sebaliknya, jika seseorang percaya penuh akan kemampuan diri, maka strategi yang disusun pun akan tertata rapi, sehingga self-efficacy akan meningkat.
Self-efficacy berperan penting dalam kehidupan karena akan membuahkan pemikiran positif dalam diri. Kita juga akan terbiasa menyiapkan strategi atas permasalahan yang ada. Alih-alih merendahkan kemampuan, self-efficacy bisa membuat kita menghargai kelebihan dan kekurangan dalam diri.
Penulis: Febriyanti
Editor: Revina A.