Dalam beberapa hari terakhir, tagar Indonesia terserah sempat menjadi trending topic di Twitter. Tagar itu, muncul sebagai bentuk kekecewaan dan rasa frustasi tenaga medis terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak konsisten dalam menjalankan protokol pencegahan Covid-19.
Hal itu bisa dilihat dari banyaknya tempat perbelanjaan dan sejumlah tempat terbuka lain yang bahkan semakin ramai menjelang lebaran. Pasar-pasar kembali ramai, jalanan kembali macet, dan pusat perbelanjaan diizinkan beroperasi. Seolah-olah masyarakat kita telah melupakan social distancing. Di sisi lain, perang melawan covid-19 belum selesai, namun pemerintah justru melonggarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Akibat pelonggaran itu, kini telah berbuah menjadi malapetaka. Angka penambahan korban akibat corona melonjak drastis hingga mencapai 973 orang dalam sehari yang mana, menjadi lonjakan kasus tertinggi semenjak pertama kali menyebar di Indonesia.(Kompas.com, 21/05/2020)
Ini tentu menimbulkan pertanyaan besar. Ada apa dibalik semua ini? Apakah pemerintah sedang menyiapkan strategi baru dalam berperang melawan Covid-19? Atau pemerintah setengah hati membuat kebijakan ini?
Sejak pertengahan Februari 2020, Pemerintah memang seperti kurang serius dalam menangani pandemi Covid-19. Apalagi, saat kasus ini mulai pertama menyebar, di mana Presiden Jokowi mengimbau masyarakat untuk melakukan aktivitas dari rumah. Namun, hal berbeda justru dilakukan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio, yang menyatakan akan memberikan diskon penerbangan untuk meningkatkan kembali pariwisata yang melemah akibat pandemi covid-19.
Demikian pula dengan kebijakan yang terkesan tidak ada koordinasi dan membingungkan. Sebagian para elit justru saling berbeda istilah mulai dari informasi hingga kebijakan yang dibuat bersama. Simak saja, istilah pulang kampung dan mudik, juga istilah normal baru yang membingungkan dan menimbulkan polemik di berbagai kalangan yang (jelas) memerlukan keterangan panjang lebar.
Hal semacam inilah yang kerap membuat hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Di tengah wabah seperti ini, publik justru disuguhkan informasi yang membingungkan. Sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Maka, tidak heran jika kemudian banyak masyarakat yang memberikan sentimen negatif terhadap pemerintah.
Dalam survei yang dilakukan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) baru-baru ini menunjukkan adanya sentimen negatif yang tinggi terhadap pemerintah Indonesia sebesar 66 persen, dari 135 ribu responden. Sebanyak 66 persen melancarkan sentimen negatif terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi di tengah Pandemi Covid-19 ini. Sementara, sebanyak 34 persen memberikan sentimen positif.
Kesadaran
Saat ini, tidak ada gunanya saling menyalahkan terkait fenomena yang sekarang sedang terjadi. Masyarakat, pemerintah, dan tenaga medis sekalipun harus saling sadar dan mengerti dengan kondisi masing-masing. Sadar sejak dalam pikiran adalah yang paling utama sebelum melakukan perbuatan.
Pentingnya kesadaran sejak dalam pikiran akan menentukan segala tingkah laku yang terjadi. Sadar dengan apa yang dipikirkan dan sadar dengan dampak yang dihasilkan ketika mengambil suatu keputusan.
Setelah sadar dalam pikiran, yang harus dilakukan selanjutnya adalah sadar dengan diri sendiri. Perlu diketahui juga bahwa manusia tidak hanya sadar akan dunia di sekitar mereka tetapi juga diri mereka sendiri: aktivitas mereka, tubuh mereka, dan kehidupan mental mereka. Kesadaran diri ini kemudian dapat dipahami sebagai kesadaran tentang diri sendiri. Mengutip pernyataan Aristoteles, yang mengklaim bahwa seseorang—harus—ketika memahami sesuatu, juga merasakan keberadaan mereka sendiri (De Sensu 7.448a).
Ini menandakan bahwa kesadaran itu penting. Bukan hanya sadar dalam unconsciousness (pikiran bawah sadar) tetapi juga sadar secara consciousness (pikiran sadar). Jika dua bentuk kesadaran ini diolah secara benar, akan menghasilkan potensi yang besar pula.
Ketika pikiran bawah sadar kita menerima ide, ia akan menjalankannya. Pikiran bawah sadar itu tak ubahnya pilot pikiran yang bekerja secara otomatis. Ia tidak mempertanyakan sesuatu yang dimasukkan atau disampaikan kepadanya. Ia menerima segala hal sebagai suatu kebenaran, kenyataan, dan kepastian yang harus dijalankan.
Lalu, di mana peran pikiran sadar? Pikiran sadar itu seperti filter. Ia yang menyaring dan mempertanyakan segala sesuatunya sebelum diterima pikiran bawah sadar. Setiap pikiran atau gagasan, keyakinan, pendapat, teori-teori dan kejadian-kejadian dalam hidup akan masuk dalam pikiran bawah sadar sebagai kebenaran yang mutlak.
Hubungan antara pikiran sadar dan pikiran bawah sadar itu seperti pria dan wanita. Pikiran sadar adalah pria sebagai pemimpin dan pikiran bawah sadar adalah wanita sebagai pengikut.
Pikiran bawah sadar bersifat membantu pikiran sadar. Semakin keduanya bekerja secara harmonis dan sinkron, semakin baik pula pemikiran yang dihasilkan. Sebaliknya, ketika koordinasi mereka buruk, maka akan menghasilkan buah pemikiran yang buruk pula.
Jika melihat fenomena corona di Indonesia yang saat ini menjadi polemik, saya justru mempertanyakan ulang dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat maupun tenaga medis yang lantang menyuarakan Indonesia terserah.
Bahkan, saat ini pemerintah berencana menerapkan new normal di Indonesia sebagai cara baru bertahan hidup di tengah pandemi. Padahal, di tengah kampanye new normal, situasi di rumah-rumah sakit di Jawa Timur malah krisis. Sejumlah rumah sakit rujukan penuh sesak hingga ruang gawat darurat. Berdasarkan data LaporCovid19 akhir pekan lalu, 932 orang meninggal di provinsi itu. Dengan 295 dinyatakan positif, 544 PDP serta 93 berstatus ODP. (Tempo.co 28/05/2020).
Agaknya, perlu adanya pertimbangan dan kajian yang lebih matang dalam menyikapi kebijakan yang saat ini dikeluarkan pemerintah. Namun, tetap menanamkan kesadaran dalam diri, termasuk pemerintah, masyarakat dan tenaga medis sekalipun demi Indonesia yang lebih baik.
Penulis: Nabila