“Kapan wisuda? Kapan nikah?”
Sebuah penggalan pertanyaan dari teman saya untuk mengawali sebuah obrolan malam Hari Raya Idul Fitri. Setelah sekian lama tak bertemu, hal itu saya anggap wajar sebuah pertanyaan yang dilontarkannya. Namun sebenarnya hati ini layaknya disayat sebuah pisau belati tatkala ada yang bertanya seperti itu. Bukan benar begitu netizen? Haha
Ya, pasti yang mengalami hal demikian banyak diantara para pembaca ini khususnya pada saat Hari Raya Idul Fitri tiba. Sebuah waktu untuk berkumpul dan berbagi cerita satu sama lain. Namun pasti jika sudah sampai pada sebuah topik pembahasan yang bermula pada kata kapan, tidak sedikit orang yang mau menjawab, terpaksa menjawab, atau bahkan marah. Sebisa mungkin jangan sampai marah, sebab ceritanya akan berbeda lagi nantinya.
Jika menemui pertanyaan yang demikian, sebenarnya hal itu melatih kecerdasan kita dalam menjawab dan menyikapi sesuatu. Ketika mereka bertanya, jawab saja sebisanya. Setelah itu anda ganti bertanya pada dia, cari celah kelemahan lawan bicara anda. Ya, layaknya menyusun strategi perang, tapi jangan dikait-kaitkan dengan jihad ya, soalnya urusannya bisa panjang. Intinya balas pertanyaan dengan pernyataan dan pertanyaan, jangan hanya pasrah menerima keadaan saja.
Polemik terkait kata kapan dan kapan lainnya ini sebenarnya sudah berjalan dan turun temurun dari generasi ke generasi. Ditemui pada momen Hari Raya Idul Fitri seperti ini. Jika menilik sejarah pertanyaan kapan nikah dari tahun ke tahun, sebenarnya hal itu sudah merujuk pada sebuah budaya konservatif.
Konservatif sendiri memiliki sebuah arti yakni percaya pada nilai-nilai yang di bentuk oleh praktik tradisional. Lantas orang yang bersikap konservatif ini biasanya disebut kolot. Mau anda jika disebut orang kolot?
Apa untungnya mempertahankan sebuah kebiasaan yang seolah-olah sudah menjadi budaya tiap tahun, seperti bertanya kapan nikah, kapan wisuda dan lain sebagainya.
Apakah ketika anda sudah bertanya seperti itu terdapat kepuasan tersendiri? Apa setelah bertanya anda dapat uang THR?
Kemudian apakah anda akan membantunya ketika yang ditanya menjawab “Belum menikah” “Belum Wisuda”. Nah disini pentingnya evaluasi diri. Jika belum bisa membantu para jomblowan dan jomblowati untuk mendapatkan pasangan, sebisa mungkin jauhkan pertanyaan kapan nikah itu secepatnya. Soalnya bukan membantu tapi menambah beban kepada yang bersangkutan.
Jika berbicara nikah, pasti sebuah persoalan tidak luput dari berbagai unsur, misal belum ada pasangan, belum ada yang mau, belum punya modal, belum punya kerjaan dan belum-belum lainnya. Masing-masing orang punya argumentasi kuat tersendiri untuk mempertahankan dirinya setia pada status jomblo fi sabilillahnya.
Ataukah mungkin dia yang belum menikah tidak mau membebani persoalan negara yang belum selesai sampai sekarang. Misalnya problem pernikahan usia dini yang setiap tahunnya selalu terjadi peningkatan.
Dalam data yang di himpun dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang presentase pernikahan dini di Indonesia, dari tahun 2017 sebanyak 14,18% mengalami kenaikan, pada tahun 2018 menjadi 15,66%. Dari data tersebut didapat sebuah gambaran masih terjadi polemik yang sangat perlu di selesaikan di negeri ini. Mungkin saja salah satu penyebab dari polemik pernikahan dini adalah sebab dari masifnya budaya konservatif yang terus menerus digaungkan yakni budaya bertanya kapan nikah.
Jika anda tidak mau menambah suatu permasalahan negara, maka secepatnya jauhkanlah diri anda pada pertanyaan kapan nikah. Lebih baik ikut mengatasi masalah tentang peningkatan pernikahan usia dini, misalnya dengan mengembangkan budaya revolusioner seperti gerakan jangan tanya kapan nikah.
Setidaknya jika tidak bisa membantu pemerintah menanggulangi suatu permasalahan jangan menambah masalah.
Jadi untuk para pembaca yang budiman, setujukah anda dengan gerakan tagar #jangantanyakapannikah?
Penulis: M. Iqbal Shukri