
Baliho-baliho calon wakil rakyat menyemarakkan jalan, saling bertumpuk satu sama lain. Wajah-wajah yang ada di baliho itu selalu tersenyum disertai dengan kalimat ajakan agar orang-orang memilih dirinya. Namun menjadi sebuah pertanyaan, diri yang seperti apa?
Yang mencalonkan bahkan tidak tahu dengan dirinya sendiri apalagi rakyat yang akan memilih.
Nampaknya, tahun politik sekarang menjadi ajang pesta ketidaktahuan diri. Orang-orang saling berlomba menunjukkan keunggulannya. Pemasangan baliho, model kampanye, slogan, dan janji yang ditawarkan seringnya terlalu nekat dan mengedepankan “ke-Aku-an”.
Beberapa waktu yang lalu, publik digegerkan dengan istilah tempe setipis ATM. Tidak perlu penelitian yang mendalam, publik sudah mengetahui bahwa tidak ada orang yang menjual tempe setipis itu. Istilah propaganda Rusia juga sempat mencuat hingga akhirnya membuat kedubes Rusia angkat bicara membantah hal tersebut.
Belum lagi pemasangan baliho para calon wakil rakyat yang tidak berdasar. Bagaimana tidak mereka memasang baliho seenak wedelnya. Ada yang memasang baliho dengan foto terbalik, dan memakai bahasa alay dalam balihonya. Misal kalimat “siap memimpin rakyat” diganti dengan “s14p memimpin rakyat”.
Selain model kampanye dan pemasangan baliho yang asal-asalan, mereka juga banyak menawarkan janji seolah-olah mereka mampu merealisasikan janji itu. Contoh janji yang paling sering mereka tawarkan adalah akses pendidikan dan kesehatan gratis. Jika saja mereka mau menggunakan akal sehatnya, hal itu tidak akan mungkin terjadi. Kalaupun bisa, prosentasenya sangat kecil.
Pemilu menjadi bahan lelucon bahkan ketidaklaziman yang dibenarkan untuk mereka yang mencalonkan diri. Hal semacam ini akan terus mereka lakukan, sampai pemilu usai dengan tujuan dapat mendulang suara untuk kesuksesannya.
Lalu, bagaimana setelah pemilu usai?
Bagi yang gagal, ke-aku-an yang mereka tampilkan saat kampanye seharusnya tetap mereka bawa dalam kehidupan sehari-hari. Karena idealnya ke-aku-an yang mereka tampilkan saat kampanye sudah terinternalisasi dalam dirinya. Pun demikian dengan yang jadi.
Tapi sayangnya, fakta tidak berkata seperti itu. Ke-aku-an saat kampanye yang terlihat sangat suci, seperti tercabut dalam diri mereka dan mayoritas menjadi pengkhianat minimal untuk dirinya sendiri.
Tentu kita masih ingat dengan kasus korupsi yang menjerat Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, dan Andi Mallarangeng pada sekitar tahun 2012-2013. Sebelum menjadi tersangka, mereka membuat video iklan “katakan tidak pada korupsi”. Namun nyatanya, merekalah pelaku korupsi itu.
Kejadian demi kejadian yang terjadi selama masa pemilu termasuk di dalamnya masa kampanye membawa penulis pada satu kesimpulan bahwa kita sedang dipermainkan oleh politik ketidaktahuan diri para politisi, disamping politik catur kemenangan yang mereka pakai.
Rakyat hanya objek untuk segala kampanye “ketidaktahuan diri dan ke-aku-an” bagi mereka. Setiap hari meyakinkan rakyat bahwa mereka adalah orang yang pantas untuk dijadikan pemimpin. Namun yang sebenarnya terjadi justru mereka adalah orang yang tidak tahu diri.
Karena orang yang tidak tahu diri memiliki 7 unsur yang ciri-cirinya hampir melekat pada mereka politisi.
Pertama, ketidaktahuan diri berakar pada ketidaktahuan (Unwissenheit). Orang yang tak sadar kemampuan, kemudian berlagak untuk mengambil peran besar, akan menjadi orang yang tidak tahu diri.
Dua, ketidaktahuan diri berakar pada miskinnya pengalaman. Pengalaman yang diolah akan membuat orang menjadi bijak. Biasanya, orang-orang seperti itu akan hidup sederhana dan bersahaja, walaupun mereka bermutu dan kaya raya. Namun beda dengan orang yang tidak tahu diri, mereka akan berlagak untuk menjadi pemimpin masyarakat.
Tiga, orang tidak tahu diri melaju pesat karirnya, karena dia pandai menjilat.
Empat, orang tak tahu diri juga suka dijilat.
Lima, orang tak tahu diri adalah orang yang takabur. Mereka ditipu oleh sebuah kisah sukses semu. Kesombongan pun terpancar langsung dari tutur kata maupun tindakan.
Enam, ketidaktahuan diri selalu bergandengan dengan kerakusan. Karena tak kenal dengan dirinya sendiri, rasa hampa selalu datang menghantui. Rasa rakus tumbuh secara alami, dan berusaha dipuaskan dengan uang dan kekuasaan.
Tujuh, ketika diberikan kedudukan, orang-orang yang tidak tahu diri akan langsung menyalahgunakannya. Kekuasaan mereka tidak akan berkelanjutan, karena berpijak pada kerakusan dan kebutaan. Yang terjadi justru sebaliknya, kerugian moral, spiritual dan ekonomis akan langsung tercipta di dalam kepemimpinan mereka.
Seperti inilah wajah perpolitikan kita, dari tahun ke tahun. Apalagi setelah pesta ketidaktahuan diri para poitisi lima tahunan ini terjadi? Yang jelas siklus ini akan tetap terulang, karena telah menjadi tradisi. Kecuali mereka yang dapat sadar pada diri sendiri dan visi dari bernegara ini yang katanya ingin maju. Tapi itu sepertinya cuma mimpi di siang bolong.
Goenawan Mohamad berkata, “Sebagian besar pengetahun kita agaknya memang tidak berdasar pada penalaran ataupun eksperimen, melainkan, pada otoritas. Dan ketika segala gelar disebut dan stempel keahlian diterakan, ilmupun tak lagi dilihat sebagai proses, melainkan sabda. Kekuasaannya semakin besar, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk menggampangkan, memendekkan, menjustai. Kemudian lahirlah tahayul.”
Ya, politik di negeri ini seperti halnya di dunia tahayul, sebab mimpi dan harapan masih di langit yang tinggi.
Penulis: Khalimatus Sa’diyah