
Seringkali, kehidupan memberikan kita pengalaman yang tidak terduga. Realitas sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia saat ini semakin mengungkapkan bahwa hidup memang tidak bisa diduga-duga.
Banyak sarjana yang masih kesulitan mendapatkan pekerjaan, kemiskinan merajalela, dan pengetahuan tentang pengelolaan keuangan masih minim. Inilah yang kemudian melahirkan istilah “sandwich generation“.
Generasi yang lahir antara tahun 1981 hingga 1996 sering disebut sebagai milenial. Mereka memiliki rasa ingin tahu, kreativitas, inovasi, dan kesiapan dalam menghadapi perubahan. Sayangnya, kecenderungan generasi milenial menghabiskan uang untuk pengalaman seperti liburan, hiburan, dan barang konsumtif seperti mobil atau elektronik sering membuat mereka lupa akan pentingnya investasi dan pengelolaan keuangan. Akibatnya, mereka terperangkap dalam istilah “sandwich generation”.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy Miller dan Elaine Brody pada tahun 1981. Dalam jurnal mereka yang berjudul “The Sandwich Generation: Adult Children Of The Aging”, Dorothy menjelaskan bahwa sandwich generation adalah generasi yang harus menanggung beban hidup orang tua dan anak-anak mereka sendiri.
Dengan kata lain, mereka harus menghidupi tiga generasi sekaligus: orang tua, diri mereka sendiri, dan anak-anak mereka. Analogi ini seperti sepotong daging yang terjepit di antara dua potong roti. Roti melambangkan orang tua dan anak-anak, sementara daging, mayones, dan saus adalah diri mereka sendiri.
Kenyataannya, banyak orang dewasa di Indonesia yang sudah bekerja, tetapi tetap memiliki tuntutan untuk membiayai atau menghidupi orang tua dan saudara, bahkan ketika mereka sudah berkeluarga.
Dibutuhkan Pemahaman Pengelolaan Finansial
Pepatah “banyak anak banyak rezeki” sering terdengar. Namun, dalam konteks sandwich generation, menganggap anak sebagai investasi tidaklah tepat. Sandwich generation saat ini bisa jadi terbentuk karena kekurangan pengetahuan finansial dari generasi sebelumnya, yakni orang tua mereka.
Diperlukan mobilitas atau perpindahan dari sandwich generation menuju generasi milenial yang paham literasi keuangan agar dapat mencapai kemandirian finansial.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan memainkan peran penting dalam mendorong mobilitas. Mengutip jurnal “Peran Pendidikan Global dalam Mobilitas Masyarakat”, Malika (2014) mengatakan bahwa pendidikan mampu memperluas peluang masyarakat untuk memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan pekerjaan, transmisi kebudayaan, peran sosial, dan integrasi sosial.
Kesempatan yang setara dapat membantu generasi milenial mencapai tujuan hidup, tanpa terbebani oleh perbedaan sosial, ras, keturunan, agama, atau keyakinan.
Sementara itu, pendidikan zaman dahulu dan saat ini tidak bisa disamaratakan, telah terjadi perubahan di dalamnya. Pendidikan zaman dahulu memiliki keunggulan dalam melatih sikap tanggung jawab, sopan santun, dan kedisiplinan. Namun, siswa memiliki keterbatasan untuk mengakses pelajaran sekolah.
Jika dibandingkan dengan era sekarang, kita bisa bebas mencari sumber ilmu yang dibutuhkan, melihat tempat belajar ada di mana-mana, perpustakaan, dan pusat pembelajaran terbuka dengan lebar serta untuk mengaksesnya juga tidaklah sulit.
Adanya keterbatasan dalam pendidikan zaman dahulu, bukan tidak mungkin telah menjadi faktor minimnya pengetahuan tentang pengelolaan keuangan. Kita tidak bisa menyalahkan keadaan, sebagai milenial sudah saatnya sadar akan pentingnya pengaturan keuangan.
Terjebak dalam sandwich generation merupakan hal yang tidak bisa diduga. Sebagai generasi milenial, tidak peduli pekerjaan apa yang dijalani, lulusan sarjana atau tidak, pengetahuan dan kesadaran tentang pengelolaan keuangan adalah kunci supaya “beban baru” tidak lagi menjadi warisan bagi generasi mendatang.
Penulis: Lawinda Rahmawati