Jika ada kisah paling dramatis yang menembus seluruh zaman dan dikenal seluruh umat manusia di dunia, dibahas oleh orang awam, diperdengarkan di majelis-majelis keagamaan, dianalisis para filosof dan ditulis di berbagai Kitab Suci, maka itu adalah kisah Adam dan Hawa. Nenek moyang kita.
Mengapa kisah ini lantas menjadi penting? Jelas, kita tidak sedang membayangkan kisah cinta William Shakespeare, bukan pula Galih dan Ratna. Kita tengah membahas bagaimana Tuhan mendiktekan kepada kita simbol-simbol pengajarannya melalui kisah yang berhubungan dengan Adam dan Hawa beserta segala yang terlibat; Malaikat, Iblis, dan anak-anak Adam-Hawa.
Kisah bermula dari perintah Tuhan kepada para Malaikat,“Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka, kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir (2:34). Diceritakan pula bagaimana kemudian pembangkangan yang dilakukan Iblis karena merasa lebih tinggi dan lebih mulia dari Adam. “Aku diciptakan dari api, sedang Adam dari tanah, Api lebih mulia dari tanah!”
Karena Adam tengah kesepian, ringkas cerita, lantas Tuhan menciptakan Hawa sebagai pasangannya yang membuat keduanya hidup tenteram di surga.
Bahkan, Tuhan telah berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istri kamu surga ini, dan makanlah makanan-makanan yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai. Dan janganlah kamu dekati pohon ini, karena akan menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim” (2:35).
Dengan kata lain Adam dan Hawa boleh makan apa saja selain yang satu itu;khuldi. Mendengar perintah itu, Iblis yang tidak mau bersujud dan mengakui bahwa Adam adalah makhluk yang mulia, lantas menghasut Adam dan Hawa untuk melanggar perintah Tuhan-Nya.
Tidak sedikit waktu yang dibutuhkan Iblis untuk menghasut Adam dan Hawa agar keduanya memakan buah dari pohon terlarang. Setelah melakukan berbagai cara, akhirnya Iblis pun bisa menghasut mereka dan membuat keduanya memakan buah dari pohon terlarang;buah khuldi.
Atas kelalaian Adam dan Hawa inilah, keduanya lantas diturunkan ke bumi. Saat diturunkan ke bumi, Adam maupun Hawa diturunkan di tempat yang berbeda. Bahkan, butuh waktu lama bagi keduanya untuk saling bertemu kembali.
Setiap hari, keduanya juga saling mencari satu sama lain dan berdoa dengan tulus serta ikhlas kepada Tuhan agar keduanya dipertemukan kembali. Sebuah penantian panjang dari rasa kesepian yang cukup lama akibat terpisah dari tulang rusuknya tersebut, akhirnya keduanya dipertemukan kembali oleh Tuhan di Jabal Rahmah.
Lantas, hal apa yang bisa diambil dari kisah cinta Adam dan Hawa ini?
Kalau kita renungkan kembali kisah pertemuan Adam dan Hawa di bumi, penulis melihatnya sebagai sebuah perpisahan fisik dan jiwa dari orang yang saling mencintai. Begitu juga dengan kesetiaan cinta Adam dan Hawa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Adam, rela mengembara bertahun-tahun demi menemukan kembali tulang rusuknya yang hilang.
Seperti kita ketahui, Tuhan menghukum mereka atas sebuah kesalahan atau dosa yang sudah mereka perbuat. Namun, berkat kepercayaan dan tekad yang kuat, mereka dipertemukan kembali di tempat yang mulia.
Ya, Jabal Rahmah. Sebuah bukit kasih sayang, bukit penantian, bukit kerinduan dan bukit pengorbanan dari kisah pertemuan sepasang manusia yang paling bersejarah di seluruh permukaan bumi.
Sejatinya, mereka dipisahkan oleh ruang dan waktu serta jarak yang begitu jauh. Itulah cara Tuhan menghukum keduanya dalam rangka menyucikan kembali jiwa yang sudah ternoda. Dalam perpisahan fisik dan jiwa itulah, Adam dan Hawa kemudian ditempa untuk senantiasa meningkatkan derajat jiwa mereka.
Dan ketika berada pada titik kepasrahan dan kesungguhan, Adam dan Hawa lantas dipertemukan kembali sebagai hadiah atas kepatuhan keduanya terhadap perintah Tuhan-Nya.
Terlepas dari penantian yang bisa menggoreskan luka, sejatinya penantian juga mendatangkan kebahagiaan. Tentu kita tidak pernah tahu tentang takdir. Hanya cukup berusaha agar senantiasa setiap penantian akan menjadi sebuah penantian yang indah.
Penulis: Irsyad