Apakah kalian berfikir bahwa bergosip itu tindakan yang sia-sia? Sebelumnya, saya juga sempat berpikiran demikian. Bahkan lebih fundamentalis; Ngomongin orang di belakang itu tidak baik dan dosa. Sampai tiba masanya aku menyadari the power of gossip dari sejarawan dan antropolog yang luar biasa.
Salah satu yang membuat manusia berbeda dari mahluk lainnya adalah kemampuan ia dalam berkomunikasi. Kita tahu, di dunia ini manusia bukan satu-satunya mahluk yang dapat melakukan hal itu. Bahkan serangga, seperti lebah dan semut, tahu bagaimana berkomunikasi dengan cara yang canggih, menginformasikan ke rekannya tentang keberadaan makanan. Itu juga bukan bahasa vokal pertama. Banyak binatang, termasuk semua spesies kera dan monyet, memiliki bahasa vokal.
Perbedaannya adalah, bahasa manusia luar biasa luwes. Kita bisa menghubungkan sejumlah terbatas bunyi dan tanda untuk menghasilkan kalimat dalam jumlah tak terbatas, masing-masing dengan makna yang berbeda.
Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens (2015) menjelaskan, pola komunikasi antar Homo Sapiens tidak hanya sedelujur itu. Tujuh milenium yang lalu, ketika homo sapiens mengalami mutasi genetik, leluhur kita mampu mengembangkan kelebihan komunikasi untuk membentuk tatanan sosial dalam suatu kelompok dua tingkat di atas binatang.
Caranya sangat sederhana. Komunikasi yang dibangun bukan hanya membicarakan soal singa, bison, atau macan di seberang sungai. Itu tidak penting. Yang jauh lebih penting adalah saling tukar informasi tentang manusia; tahu siapa membenci siapa, siapa tidur dengan siapa, siapa yang jujur, siapa penipu, siapa cebong, dan siapa kampret. Eh……
Ya, dalam ilmu komunikasi itu dinamakan gosip. Teori gosip mungkin terdengar seperti lelucon, tetapi sejumlah studi mendukungnya. Bahkan, kini mayoritas besar komunikasi manusia—entah itu dalam bentuk surel, percakapan telepon, atau kolom surat kabar—adalah gosip. Gosip muncul pada kita begitu alamiah sehingga tampak seakan-akan bahasa kita berevolusi untuk tujuan ini.
Antropolog Robin Dunbar (1997) dalam penelitiannya menemukan bahwa gosip menyumbang sekitar 65 persen dari bahan pembicaraan saat orang-orang sedang berada di mal dan tempat umum lainnya. Prinsipnya sama, membicarakan selingkuhan teman kerja lebih menarik dari pada prestasinya.
Teori Dunbar menjelaskan gosip berfungsi sebagai sarana berkumpul yang mempererat ikatan sosial. Manusia memerlukan cara yang mudah dan efektif untuk menyampaikan norma sosial untuk menjaga diri dari perilaku buruk.
Manusia mampu melakukan gosip selama berjam-jam. Saling tukar informasi tentang siapa yang bisa dipercaya berarti memungkinkan kawanan-kawanan kecil bisa membesar menjadi kelompok-kelompok besar, dan manusia bisa mengembangkan jenis kerja sama yang lebih ketat dan lebih canggih.
Teori serampangan yang sering kita dengar adalah, orang yang mudah emosi dikatakan “kurang ngopi”. Benarkah demikian? Secara aksiologis, ngopi memang diidentifikasi sebagai kegiatan berbincang bersama ditemani secangkir minuman kopi—walaupun fakta di lapangan tidak selalu kopi, ada yang ditemani es teh atau air es saja—yang memungkinkan untuk membahas segala hal. Karenanya, orang yang sering ngopi dikatakan wawasannya luas.
Namun, dari pengamatan saya di berbagai warung kopi, orang-orang di sana tidak juga demikian. Malah, ada yang hanya fokus dengan smartphone atau leptop di meja, tanpa berbincang dengan kawan di sebelahnya.
Hal esensial dari ngopi sebenarnya ada ngerumpi. Ya bergosip. Namun, kadang makna ini jarang ditanggap oleh sebagian orang. Semua orang bisa ngerumpi di mana pun dan kapan pun tanpa ditemani dengan minuman apapun kok.
Emosi manusia hari ini begitu mudah memercik lantaran pola komunikasi satu arah. Yaitu, teknologi (mesin) ke manusia. Bukan dari manusia ke manusia.