![Menyelami Sejarah, Pameran Koran Langka, Pers dalam Lorong Waktu, Koran Semarang, Sejarah Koran Semarang](https://amanat.id/wp-content/uploads/2024/12/WhatsApp-Image-2024-12-27-at-18.58.12.jpeg)
Amanat.id- Spanduk bertuliskan “Pameran Koran Langka” terpampang di gedung putih Jalan Kepodang No. 64 kompleks Kota Lama Semarang, Minggu (18/8/2024). Siang itu, beberapa kendaraan bermotor terparkir rapi di depan gedung yang bernama “Rumah Po Han” tersebut.
Anak tangga di balik pintu Rumah Po Han mengantarkan kami menuju lantai dua, tempat di mana pameran dengan tajuk “Pers dalam Lorong Waktu” dilaksanakan.
Tempat itu seolah membawa kami masuk ke dalam suatu masa, melihat jejak pers yang ditinggalkan pada setiap zaman. Dindingnya pun dipenuhi dengan tempelan kertas koran yang sudah menguning dan kecokelatan.
Terpanjang di dalamnya koran dari berbagai zaman dan daerah. Koran Semarang zaman Belanda menghiasi dinding yang berhadapan langsung dengan pintu masuk. Ada 18 koran yang dipajang, salah satunya adalah Het Noorden (1918-1942) dan Het Midden. Koran Het Noorden menggunakan bahasa Belanda, sedangkan Het Midden satu-satunya koran yang memakai dua bahasa (Indonesia-Belanda).
Jika bergeser ke kanan, di sebelah jajaran koran Semarang zaman Belanda, ada koran Semarang zaman Jepang, namanya Sinar Baru (1942-1945). Semakin bergeser ke kanan, bergeser pula ke waktu yang lebih modern. Kali ini, giliran koran Semarang zaman kemerdekaan. Salah satu koran yang dipajang adalah Warta Indonesia, yang merupakan koran pertama terbit setelah kemerdekaan Indonesia.
Kuang Po menjadi salah satu kategori koran Semarang zaman orde lama yang dipajang di dinding sebelah kanan dari ketiga kategori koran sebelumnya.
Terbit di tahun 1953, Kuang Po memiliki alamat percetakan di tempat di mana ia dipamerkan saat ini, yaitu Rumah Po Han. Selain itu, ada juga Harian Tempo (1956-1975), Suluh Marhaen (1956-1975), Republik (1971), Suara Merdeka (1950-sekarang), dan Sinar Indonesia yang percetakannya bertempat di rumah Po Han tahun 1960.
Koran Semarang zaman orde baru menjadi koran yang dipajang di ujung kanan dinding. Berjajar koran Angkatan Bersendjata (1965), Kartika (1965), Pos Minggu (1967), Makarya (1975), Semarang Pos (1971), Duta Masjarakat (1966), dan Bahari (1966) tersusun berurutan ke kanan.
Selain koran Semarang, ada pula koran Jakarta zaman Belanda dan Jepang, koran Sumatra zaman Belanda, koran Solo zaman Belanda, koran Jogjakarta zaman Belanda, koran Pekalongan zaman Belanda, dan koran Bandung zaman Belanda.
Koran Bromartani (1855), Pewarta Oemom (1939), dan Pustakawarti adalah koran kategori zaman Belanda yang terbit di Solo. Koran tersebut menggunakan aksara Jawa. Selain itu, koran asal Jogja Mataram dan Sedyatama yang terbit pada masa Belanda juga menggunakan aksara Jawa dalam pemberitaannya.
Ada juga beberapa mesin tik tersusun rapi di tengah ruangan. Juga tersuguh arsip dari media cetak zaman dahulu seperti kwitasi agen koran. Tak lupa alat komunikasi pers dahulu kala, seperti Handy Talkie (HT), telegram, telepon kuno, kerang, dan terompet.
Salah satu pengunjung, Felix menilai bahwa koran adalah bukti sejarah.
“Koran itu bukti sejarah,” ujarnya, Minggu (18/8).
Hobi untuk dedikasi
Sebelum gedung itu disulap menjadi pameran, Kuang Po sang pemilik gedung adalah kolektor barang lawas. Ia gemar memelihara prangko, buku, dan uang lama.
“Jadi saya dulu itu pertama kali mengoleksi prangko. Kemudian baru buku dan koran, terus uang lama, itu semua saya kumpulin,” tuturnya.
Saat ia dan istri, Sylvie pindah ke gedung tersebut, istrinya menemukan tumpukan koran di lantai atas. Koran itu adalah Kuang Po dan Sinar Indonesia. Usai mencari tahu, ternyata gedung yang mereka beli adalah bekas tempat penerbitan koran.
Po Han dan Sylvie lantas mengambil koran tersebut dan menyimpannya dengan dibungkus plastik transparan agar tidak koyak.
Ide untuk membuat pameran itu terlintas begitu saja di benak keduanya. Keadaan saat ini yang dikuasai oleh teknologi modern, membuat koran lambat laun ditinggalkan. Lewat pameran inilah suami istri itu ingin mengedukasi anak muda zaman sekarang, menyajikan potongan-potongan sejarah.
Meski tidak berkutat di bidang jurnalistik, Po Han dan Sylvie memiliki tekad gigih merawat sejarah pers Indonesia. Keduanya juga mengumpulkan koran lama lainnya dari tukang loak dan mencari ke teman-teman Po Han, untuk kemudian meramaikan pameran yang mereka buat.
“Kadang dari orang bawa buku loak atau tukar barang, kalau koran yang di luar Semarang saya minta ke teman,” ucap Po Han.
Di tiap koran yang terpajang, Sylvie memasang barcode yang akan mengarah ke channel YouTube yang sudah dibuatnya. Lewat video di sana, pengunjung bisa menonton sejarah koran yang dipajang di pameran. Untuk menjangkau penonton yang lebih luas, disajikan pula subtitle berbahasa Indonesia, Arab, dan Mandarin.