“Saya adalah ronggeng yang berdaulat atas diri saya sendiri,” seru Tri Utami.
Kemudian, ia berdiri tegap menghadap ke atas, disorot tiga buah lampu, yang semakin meredup, dan gelap. Tepukan ratusan tangan penonton bergemuruh, membuat riuh seisi Gedung Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Kamis (4/7/2019). Pentas monolog musikal resmi berakhir.
Pementasan bertajuk ‘Srintil: Tembang Duka Seorag Ronggeng’ itu disadur dari novel ‘Ronggeng dukuh Paruk’ karya Ahmad Tohari. Dengan sutradara Iswadi Pratama, monolog musikal tersebut mengisahkan seorang ronggeng dengan penderitaan yang dialamainya.
Tentu, Iswadi tidak mengisahkan seluruh isi novel secara linier. Ia hanya memilih fase-fase terpenting dalam hidup Srintil, sesuai degan penafsiran dirinya.
“Di novel kan, diakhir hidupnya Srintil itu gangguan jiwa. Nah kita tidak mengonfirmasi atau mengafirmasi versi novelnya. Tapi kita menegasi, membuat alternatif lain,” katanya saat ditemui Amanat.id.
Pementasan yang berdurasi selama lebih dari dua jam itu, banyak adegan yang menunjukkan ronggeng itu direndahkan. Bahkan saat itu, Srintil yang telah menjadi ronggeng seperti barang yang diperjualbelikan. Dalam tradisi Dukuh Paruk memang seorang ronggeng harus mau melayani semua pria yang membayarnya.
Di sini, Iswadi ingin menyorot bagaimana perempuan masih tersubordinasikan, terutama di negeri ini. Padahal, perempuan harus dilihat dengan hati. Mereka harus dihormati dan dimuliakan siapapun dia.
“Bahkan seorang pelacur pun harus kita hargai, karena perempuan juga memiliki harkat. Kita tidak bisa menghakimi apapun profesinya,” kata sang sutradara dengan alunan kata yang lirih namun begitu tegas.
Melalui pementasan itu, Iswadi menyelami dunia batin seorang perempuan. Tak hanya itu, kata-kata yang diutarakan Srintil “Lebih sakit batin daripada sakit raga”, menunjukkan bahwa tidak ada satupun perempuan yang mau dihargai hanya sebatas tubuhnya saja. Jadi hal yang paling sakit bagi perempuan adalah ketika harkatnya terlukai. Dan Srintil, seorang ronggeng merasakan keduanya.
Sangkan Paraning Dumadi
Hal menarik dari pementasan tesebut, tentu pada ending cerita. Seperti yang diceritakan di awal, pentas diakhiri dengan adegan Srintil berdiri menghadap ke atas.
Dalam kisah Ronggeng Dukuh Paruk, Srintil begitu mencintai Rasus. Ia ingin menari untuk Rasus dan menyerahkan dirinya untuk Rasus. Namun sebagai ronggeng, ia tak bisa melakukan itu. Sepanjang hidupnya sejak menjadi seorang ronggeng, ia selalu megalami pergulatan batin karena hal tersebut.
Menurut Iswadi, adegan terakhir itu menunjukkan kemurnian kembali seorang roggeng. Srintil kembali menemukan jalan spiritualnya. Dalam filosofi Jawa “Sangkan Paraning Dumadi” yang artinya dari mana manusia berasal dan akan kemana ia akan kembali.
Kalimat yang ucapkan srintil, seperti di kalimat pertama tulisan ini, menggambarkan kebebasan Srintil. Tarian dan tubuhnya tak lagi untuk lelaki manapun, ataupun untuk Rasus seorang.
“Pada akhirnya, tarian itu dipersembahkan untuk sesuatu yang lebih agung,” ujar pria kelahiran Lampung itu.
Kalimat pertama itu, kata Iswadi, juga mengandung makna agung bagi kita seorang muslim. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa seorang manusia adalah khalifah fil ard, ia berkehendak atas dirinya sendiri.
Budaya Ronggeng dan stigma negatif
Iswadi menjelaskan, ronggeng merupakan salah satu bentuk dan ekspresi budaya sah yang ada di Indonesia, tepatnya di daerah Banyumas. Namun Ronggeng di stigmakan negatif dan juga di selewengkan.
“Sebenarnya, yang membuat ronggeng itu menjadi negatif bukan seni ronggengnya, tapi perilaku dan persepsi kita, ronggeng itu tradisi yang ada di Indonesia,” jelasnya.
Ia menambahkan, kesenian merupakan ekspresi estetik dari masyarakat, bahwa mungkin disitu ada hal-hal yang tak sepakat secara nilai dengan orang lain, namun hal itu sebenarnya bisa di negosiasi kultural.
“Bahwa dia (ronggeng) sebagai bentuk seni dan budaya, dia berhak ada dan hadir diantara kita, jangan dihakimi,” katanya.
Ia berhrap dengan menghadirkan kembali cerita Ronggeng Dukuh Paruk dalam Monolog Musikal ini dapat ditanggapi dan direspon dengan baik oleh masyarakat.
“Kalau kita mau membangkitkan seni ronggeng lagi, itu diluar kemampuan kita, artinya tradisi itu masih bisa tumbuh dan berkembng oleh pelakunya sendiri dan tentunya didukung oleh msayarakat dan negara. Negara itu harus perduli dengan tradisinya sendiri,” ucapnya.
Penulis: Fika Eliza
Editor: Moh. Azzam