Amanat.id– Komunitas teater mahasiswa se-UIN Walisongo Semarang menampilkan pementasan tokoh Kiai Saridin dari buku karya Rektor UIN Walisongo, Muhibbin dalam acara Ngaji Budaya dan Peluncuran Buku yang berjudul “Fatwa dan Canda Kiai Saridin” di Gedung Serba Guna (GSG) UIN Walisongo, Sabtu (07/04/2019).
Acara tersebut menampilkan perpaduan antara budaya dengan nilai-nilai sosial dan agama, salah satunya penampilan teater yang ditampilkan mahasiswa dari gabungan seluruh UKM teater UIN Walisongo yang cukup apik dan menghibur.
Perhatian terpusat ke panggung dengan cahaya lampu yang tertuju pada penampilan teater yang ditampilkan. Gelak tawa penonton pecah sembari fokus melihat penampilan kisah Kiai Saridin yang banyak menyinggung permasalah model-model kiai zaman milenial.
Pentas teater diawali dengan para pemain yang berdzikir bersama layaknya budaya amaliah Indonesia, penampilan teater itu dilanjut dengan munculnya perempuan cantik dan tergodanya salah satu kiai yang menggambarkan kiai zaman sekarang yang berotak mesum.
Antusias penonton semakin besar ketika pemain memperagakan berbagai model kiai milenial seperti kiai politik yang pintar bersilat lidah, kiai fatwa yang meragakan penceramah yang senang menghukumi suatu peribadatan dan kiai matre yang mementingkan uang dalam berdakwah.
Munculah tokoh utama yaitu Kiai Saridin yang memerankan sifat kiai yang rendah hati dan tawadhu yang tidak mementingkan kepentingan pribadi ataupun hawa nafsunya. Kiai Saridin menggambarkan model kiai yang ideal sesuai dengan perkembangan zaman dan syariah hukum agama maupun kearifan budaya masyarakat.
Dengan penampilan sederhana yang hanya memakai kemeja putih yang lusuh, bersarung batik khas kedaerahan dan berpeci merah yang menampilkan ketawadhuan Kiai Saridin serta membawa sapu lidi yang memiliki filosofi yang unik.
Ketika ditemui Amanat.id, Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sekaligus pemeran tokoh utama Kiai Saridin, Kafabih mengungkapkan filosofi sapu lidi.
“Sapu lidi memiliki filosofi yang menggambarkan, apabila sapu lidi terpisah-pisah sulit untuk membersihkan tapi apabila sapu lidi itu diikat kencang menjadi satu, maka akan bisa lebih mudah untuk membersikan dari debu maupun kotoran, selayaknya manusia yang perlu dibersihkan dari berbagai sifat perbuatan yang kurang baik,” jelas Kafabih.
Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang menghadiri Ngaji Budaya dan Peluncuran Buku, Umam turut memberikan pendapat mengenai nilai yang didapat dalam pementasan kisah Kiai Saridin.
“Kiai Saridin sesuai yang saya tangkap dalam teater tersebut memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi jadi kita bisa diharapkan untuk memanusiakan manusia,” tuturnya.
Itulah salah satu bentuk dakwah Kiai Saridin dengan mengajak melakukan syiar yang baik secara bersama, berlomba-lomba untuk berbuat baik bahkan menyerukan gotong royong, agar memudahkan terwujudnya kearifan lokal yang baik dalam segi budaya maupun agama dengan menumbuhkan jiwa kemanusiaan yang tinggi.
Penulis: Umar Said Yanuar