
Amanat.id– Aroma harum asap kopi mengepul memenuhi langit-langit malam, ditemani hiruk-pikuk ramainya jalanan depan ruko Kampus 2 Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, seorang pria dengan pakaian yang sedikit nyentrik terlihat sedang menyiapkan secangkir kopi, Rabu (14/5/2025).
Tangannya sibuk memilah biji kopi dari kemasan sembari menunggu air mendidih. Ia memutuskan untuk menggiling biji kopi hingga halus dan tidak lupa juga menceritakan kepada pembeli beberapa hal yang menarik tentang proses penyeduhan kopi secara manual.
Meskipun tak seramai biasanya, mahasiswa Program Studi (Prodi) Aqidah dan Filsafat Islam, Muhammad Isma Hidayat yang akrab disapa Isma itu tetap membuka kedai kopi kecilnya.
Sebelum menerima beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K), Isma menuturkan ingin memiliki kedai kopi sendiri dengan harga terjangkau untuk biaya kuliah. Akhirnya ia dapat memiliki kedai kopi impiannya tersebut yang diberi nama Philocoffe Street.
Dengan senyuman ramah, obrolan dimulai dengan menceritakan ketertarikannya terhadap kopi. Proses yang panjang, mulai dari penanaman biji hingga bisa dinikmati oleh masyarakat menjadi alasan Isma tertarik dengan kopi.
Tahun 2022, di Senitti Coffe yang berada di Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, ia mulai belajar banyak tentang kopi.
“Awal kenal kopi tahun 2022 di Wonosobo karena kebetulan menempuh pendidikan lanjut di sana,” ujarnya.
Dari pengalamannya, Isma menjelaskan kualitas biji kopi akan ditentukan dari pemberian pupuk, ketinggian, struktur tanah ketika menanam, hingga proses penyeduhan.
“Biji kopi itu jenis dan kualitasnya itu berbeda. Dari ketinggian dan kualitas tanah hingga proses pascapanen seperti roasting. Proses penyeduhannya juga berbeda-beda,” ujarnya.
Selain kesenangannya terhadap kopi, harga yang terhitung cukup mahal untuk kopi di Semarang membuat Isma ingin menjajakan kopi yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.
“Pernah beberapa kali beli kopi tapi harganya mahal. Akhirnya muter otak gimana caranya orang-orang itu bisa menikmati kopi juga dengan harga terjangkau,” ucapnya.
Ia juga cukup perihatin kepada para petani kopi yang kesejahteraannya masih kurang.
“Petani kalau kopinya masuk industri itu pasti harganya murah, karena kalau industri itu beli dari buah ceri kopinya langsung. Sementara petani itu hanya mengerti soal menanam dan memanen kopi,” jelasnya.
Sejarah ‘pahit’ tentang kopi
Selain alat-alat kopi, gerobak dagangannya Isma juga dipenuhi dengan buku-buku bacaan yang tak kalah menarik. Salah satunya buku yang berjudul “Sepotong Senja untuk Pacarku” turut menghiasi perpustakaan kecil untuk pembeli yang hanya sekadar singgah.
Isma juga menjelaskan konsep kedai kopinya yang memadukan antara kopi, literasi, dan diskusi. Ia menceritakan bahwa di zaman Dinasti Abbasyiah, kopi sangat identik dengan minuman para sufi. Kopi menjadi identitas para pemikir hebat saat itu karena dalam setiap diskusi ditemani dengan kopi.
Diskusi dan perdebatan yang selalu ditemani dengan kopi, akhirnya menciptakan pergeseran, tidak hanya sebagai minuman, tetapi juga sebagai sebuah makna. Sultan Murad IV melarang peredaran kopi karena dapat memicu pikiran kritis terhadap pemerintah. Bahkan Di tahun 1675, Raja Charles II juga melarang peredaran kopi di Inggris karena dikhawatirkan menjadi pemicu penghasutan.
“Ketika ada yang minum kopi terus mereka baca buku dan kritik negara akhirnya sempat dilarang di Timur Tengah,” katanya.
Salah satu pengunjung, Jangki menganggap dengan hadirnya Philocoffe Street sangat memudahkan bagi mahasiswa yang ingin menikmati kopi atau hanya sekadar bersenda gurau.
Sebagai penikmat kopi, Jangki mengaku mendapatkan perbedaan cita rasa dari kopi dengan proses manual dibandingkan dengan kopi kemasan. Dalam hal after taste, cita rasa V60 jelas jauh berbeda dengan kopi kemasan.
“Jenis kopi dengan metode penyeduhan V60 jelas lebih enak dibandingkan dengan kopi yang di dalam kemasan seperti kapal api,” imbuhnya.
Ia menilai harga kopi di Philocoffe Street juga cukup terjangkau. Selain itu, terdapat beberapa fasilitas yang disediakan untuk pengunjung, seperti buku.
“Harganya cukup terjangkau dan menyediakan fasilitas yang bermanfaat bagi mahasiswa seperti buku untuk dibaca,” katanya.
Jangki berharap kedepannya Philocoffe Street lebih banyak menambah varian menu, seperti makanan, camilan, dan jenis kopi yang lebih beragam.
“Kedepannya mungkin bisa menambah varian kopi atau menambahkan menu makanan ringan,” tutupnya.
Reporter: Moehammad Alfarizy