
Di lingkungan kampus yang dinamis, fenomena mahasiswa yang terjebak dalam rutinitas kesibukan demi membangun branding semakin meluas. Tanpa disadari, mereka menjalani kehidupan yang setengah hati, memilih mengikuti kegiatan-kegiatan yang tidak sepenuhnya mereka minati, hanya untuk terlihat sibuk dan dianggap produktif.
Banyak mahasiswa yang belum sepenuhnya tahu apa yang mereka inginkan dari masa depan mereka. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Novi dan Untung (2024), dalam Jurnal Pendidikan Dasar menyebutkan bahwa sebagian besar mahasiswa masih berada pada tahap eksplorasi identitas, sehingga sering terpengaruh oleh lingkungan sosial dalam mengambil keputusan, termasuk dalam pemilihan kegiatan kampus. Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa banyak keputusan yang diambil tidak berdasarkan kesadaran diri, melainkan karena tekanan sosial.
Ketika tidak ada kejelasan tentang apa yang mereka cari, mahasiswa cenderung mengikuti segala sesuatu yang terlihat baik, tanpa meresapi apakah kegiatan tersebut benar-benar memberi sesuatu yang lebih berarti atau sebaliknya. Bagi mereka, aktivitas terkadang bukan lagi soal gairah atau pengembangan diri, melainkan soal bagaimana mereka ingin dilihat oleh orang lain terutama branding di media sosial.
Minimnya pemahaman tentang diri sendiri, seringkali menyebabkan mereka terjebak dalam rutinitas yang hanya memberi dampak jangka pendek, seperti kepuasan sesaat dari mendapatkan pengakuan sosial dari orang sekitarnya dan validasi pengikut sosial medianya. Ada banyak faktor pendorong mahasiswa untuk merasa harus aktif salah satunya yaitu dari teman, keluarga bahkan lingkungan kampus yang menilai mahasiswa berdasarkan ‘seberapa sibuk’ mereka, bukan makna dari aktivitas yang mereka pilih.
Pencitraan digital
Dalam masyarakat yang sangat menilai keberhasilan lewat eksistensi sosial, banyak yang merasa terjebak dalam tekanan untuk selalu “terlihat” produktif, meskipun kegiatan yang diikuti tidak dijalankan sepenuh hati. Hal ini diperkuat dalam jurnal Damar Wibisono (2020) yang menunjukkan bahwa media sosial memainkan peran besar dalam membentuk persepsi eksistensi diri di kalangan mahasiswa.
Mereka terdorong untuk menunjukkan keaktifan sebagai bagian dari pencitraan digital semata, meskipun kenyataannya tidak selalu mencerminkan keterlibatan yang sungguh-sungguh. Pada kenyataannya, kesibukannya tidak benar-benar memberi makna, tetapi justru hanya untuk asupan instastory-nya dan berakhir mendapat pengakuan dari penonton ceritanya.
Banyak mahasiswa yang mengikuti berbagai kegiatan hanya untuk memenuhi ekspektasi orang lain, atau sekadar menambah daftar kesibukan tanpa benar-benar terlibat dengan penuh komitmen. Dalam banyak kasus, kegiatan yang mereka ikuti bisa jadi lebih fokus pada hasil yang tampak, seperti menambah baris di CV atau sekadar untuk dibagikan di media sosial, daripada proses yang sebenarnya memberi mereka pembelajaran atau pengalaman berharga.
Beban kelompok
Ketika seorang mahasiswa hanya ikut-ikutan dalam kegiatan tanpa memberikan kontribusi nyata, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh diri mereka sendiri, tetapi juga oleh rekan-rekan yang terlibat. Jika seseorang hanya hadir untuk menumpang nama, maka beban kerja yang sesungguhnya jatuh pada mereka yang benar-benar berusaha dengan sepenuh hati.
Hal ini dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam tim, di mana beberapa orang harus menggantikan posisi mereka yang tidak serius. Tentu bisa merugikan, baik dalam dari segi waktu, tenaga, maupun moral kelompok. Sejalan dengan penelitian Sari dan Nimas Putri Fitria (2022) bahwa pendidikan menunjukkan ketidakseimbangan peran dalam organisasi mahasiswa yang menyebabkan konflik internal, burnout pada anggota yang aktif, dan penurunan efektivitas program organisasi secara keseluruhan.
Namun, di sisi lain, kita juga harus memahami bahwa ada banyak alasan mengapa seorang mahasiswa bisa terjebak dalam rutinitas semacam ini. Tekanan untuk terlihat produktif, rasa takut ketinggalan, atau bahkan ketidakpastian dalam menentukan apa yang sebenarnya mereka inginkan, hal ini sering kali membuat seseorang hanya mengikuti arus tanpa mempertimbangkan tujuan yang lebih dalam.
Jika kita hidup hanya untuk memenuhi ekspektasi sosial, kita akan kehilangan esensi dari apa yang sebenarnya ingin kita capai dalam hidup. Hanya dengan menjalani hidup dengan penuh hati dan kesadaran, kita bisa menemukan makna serta kebermanfaatan baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Penulis: Nadia S. A.