
Malam itu, Zikri Firdaus, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang terlihat sibuk dengan gawainya. Ia mencari informasi dan keadaan cuaca di Kawasan pantai Gunung Kidul. Bersama 12 rekanya dalam satu posko KKN, mereka mengadakan Beach Camp di Pantai Greweng, Yogyakarta pada Kamis (10/10/2019) lalu.
Bukan tanpa alasan, waktu itu cuaca sudah memasuki musim penghujan. Ditambah lagi, di pantai Greweng pernah diterjang ombak dahsyat yang turut menyapu puluhan tenda wisatawan pada tahun 2018 lalu. Akhirnya, setelah melalui perundingan yang alot, disepakati untuk tetap mengadakan Beach Camp di pantai Greweng.
Dengan pemberangkatan pukul 16.30 WIB, kami pun mengambil rute Sumowono-Magelang dan sampai Gunung Kidul sekitar pukul 22.00 WIB sembari menyempatkan singgah di Makam Auliya Gunungpring, Muntilan terlebih dahulu. Akan tetapi, hal tak terduga kami dapatkan selepas memasuki kawasan pantai Greweng.
Kedatangan kami disambut dengan kondisi jalanan yang masih berupa tatanan batu yang bergelombang. Bahkan, untuk mencapai ke lokasi, kendaraan harus diparkir di kawasan Pantai Jungwok yang jaraknya kurang lebih 500 m dengan pantai Greweng.
Akses menuju pantai Greweng pun hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak. Sementara, untuk kendaraan pengunjung dapat diparkirkan di area pantai Jungwok atau tepi jalan setapak menuju pantai Greweng yang ada di antara jalan utama pantai Wediombo-Jungwok. Selain sebagai tempat parkir, tempat ini juga menyediakan fasilitas penginapan dengan harga cukup terjangkau.
Slamet, salah seorang penjaga parkir menghimbau agar berhati-hati ketika melewati jalur bebatuan terjal.
“Rute ke pantai Greweng agak terjal mas dan harus naik turun bebatuan kapur yang terjal,” jelasnya.
Melihat situasi yang jauh dari rencana, Zikri selaku Koordinator tetap memaksakan diri menuju lokasi. Menurutnya, ini merupakan bagian dari tantangan yang harus dilalui.
“Untuk apa kita jauh-jauh datang ke sini kalau akhirnya tidak jadi ngecamp?”, tegasnya.
Seketika, suasana berubah. Teman-teman yang dulunya berniat mengurungkan diri, akhirnya mengiyakan apa yang dikatakan mahasiswa kelahiran Padang tersebut. Dengan bermodal satu senter hasil sewa dari pak Slamet, perjalanan pun kami lanjutkan menuju pantai Greweng.
Disambut lolongan anjing
Perjalanan menuju pantai kami mulai dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang berada di sebelah timur pantai Jungwok. Lalu, pada sebuah percabangan, ada dua pilihan jalur. Pertama, arah kanan menunjukkan pantai Ngusalan terlebih dahulu baru memasuki pantai Greweng. Sementara, arah kiri menuntun kita untuk langsung menuju arah pantai Greweng.
Sebenarnya, selama perjalanan, pengunjung akan dihibur dengan pemandangan ladang warga yang mayoritas ditanami jagung, ketela, dan kacang tanah. Bahkan, sesekali pengunjung juga akan menemui kandang ternak milik warga yang berisi sapi dan kambing.
Naas, karena berjalan pada malam hari, pemandangan semacam itu urung kami dapatkan. Justru sebaliknya, baru sekitar 200 m perjalanan, lolongan anjing menggema dan memecahkan heningnya malam itu.
Perasaan takut dan was-was pun sempat menyelimuti rombongan. Bagaimana tidak, anjing yang tidak diketahui jumlahnya tersebut, melolong bersahutan menyambut kedatangan kami. Guna meredam kepanikan, saya menyuruh rombongan untuk tidak berteriak dan tetap fokus perjalanan.
Setelah melewati wilayah peternakan warga, anjing itu pun berhenti mengawasi kami. Akan tetapi, ujian belum juga usai. Di depan, bebatuan terjal dan curam menghadang perjalanan kami. Dengan membawa banyak barang, perlahan satu per satu menuruni bebatuan dengan hati-hati.
Setelah melalui rute yang sulit dan melelahkan, akhirnya perjalanan menuju pantai Greweng dapat kami tempuh dengan waktu kurang lebih satu jam perjalanan.
Ada kekhawatiran tersendiri
Berkaca pada peristiwa dua tahun lalu di pantai Greweng yang mengakibatkan tersapunya tenda pengunjung yang sedang melakukan Beach Camp, turut membangkitkan kekhawatiran tersendiri bagi beberapa anggota rombongan.
Dina Auliya misalnya, mahasiswi Fakultas Ilmu Tarbiyyah dan Keguruan ini mengaku sempat khawatir dengan cuaca yang terjadi saat ini.
“Baru datang saja ombaknya seperti mengamuk,” katanya.
Senada dengan Dina, Ria Mariana Safitri lebih mengkhawatirkan jarak antara camping ground yang hanya berkisar 50 meter dengan bibir pantai. Dara kelahiran Pati tersebut menilai, meskipun jaraknya tidak terlalu jauh, ia khawatir dengan ombak yang ada di pantai Greweng.
“Tinggi ombak di kisaran 2-3 meter,” celetuknya.

Misteri goa Soekarno di pantai Greweng
Barisan bukit bebatuan karst membentuk goa, menjadi salah satu pemandangan yang kami temui di beberapa area pantai. Ada cerita rakyat mengenai goa-goa ini. Konon Presiden RI pertama, Ir. Soekarno dulu sempat bertapa tujuh hari tujuh malam di salah satu goa.
Menurut cerita lokal, siapa aja bisa masuk dalam goa, artinya permintaannya akan ada yang terpenuhi. Anehnya, tidak semua orang bisa masuk ke dalam goa. Karena selain sempit, goa ini dipenuhi dengan tajamnya karang.
Hal tersebut diamini oleh Haryanto, warga sekitar pantai. Menurutnya, Goa ini memang sering dijadikan sebagai tempat bertapa, bahkan sampai sekarang, banyak cerita-cerita mistik yang mengalir dari gua ini.
Selain itu, juga ada kelelawar-kelelawar yang bergelantungan di sana. Yang menakjubkan juga ketika anda masuk di goa ini, akan terlihat stalagnit dan stalaktit yang mengkristal bagai kilauan permata.
Surga tersembunyi
Dalam beberapa waktu terakhir, nama pantai Greweng menjadi salah satu destinasi yang diburu wisatawan. Bak surga tersembunyi, pantai yang terletak di Desa Jepitu, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunung Kidul ini menyimpan keindahan yang belum diketahui banyak orang.
Sesampai di sana, pengunjung akan dimanjakan dengan panorama alam yang indah dan menenangkan. Deburan ombak akan memberikan kedamaian bagi pikiran dan hati dikala ingin melepas penat. Selain itu, barisan bukit hijau dan bentang pasir yang lembut, menambah sempurna suasana.

Pengunjung yang pertama kali datang ke sini pun akan dibuat terpukau dengan keindahan pasir pantainya yang lembut dan berbeda dengan pasir pantai Gunung Kidul yang lain.
Ketika menyusuri jalan setapak menuju pantai Greweng misalnya, pengunjung juga bisa menyaksikan keberadaan ilalang dan sungai kecil yang mengalir ke pantai. Padang ilalang ini akan tumbuh subur ketika musim penghujan datang.
Keindahan lain yang akan didapatkan pengunjung adalah adanya dua tebing karang mengapit pantai yang masih alami, sehingga seperti cekungan. Pasir putih dan karang dangkal yang ditumbuhi rumput laut berisikan ikan-ikan kecil, kepompong serta bintang laut. Ini menjadi pemandangan alami yang akan pengunjung dapatkan.
Untuk tiket masuk pantai Greweng sendiri, pengunjung hanya perlu membayar tiket sebesar Rp. 10.000 per orang. Sementara untuk parkir motor ditetapkan tarif Rp. 3.000, atau Rp. 5.000 jika tidak menginap.
Secara keseluruhan, pantai Greweng Gunung Kidul ini memberikan pesona wisata yang masih ‘perawan’, alami, dan jarang dijamah manusia. Letaknya yang sulit dijangkau dan waktu tempuh yang cukup lama dari pusat kota Yogyakarta menyebabkan pantai tersebut masih belum banyak dilirik wisatawan. Namun, seiring berkembangnya waktu pantai ini pun akhirnya mulai ramai dikunjungi wisatawan muda dan menjadi lokasi berkemah di pantai Gunung Kidul.
Penulis: Irsyad