
Amanat.id– Gaya komunikasi Pemerintahan Prabowo saat ini kerap menjadi sorotan masyarakat karena dianggap buruk, tidak responsif, dan sering menimbulkan kesalahpahaman, Senin (23/6/2025).
Misalkan pada pernyataan Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin yang menghubungkan celana jeans dengan masalah kesehatan dan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi yang menanggapi ancaman terhadap jurnalis salah satu media nasional yang dikirimi kepala babi dengan gurauan.
Menanggapi hal tersebut, Dosen Kebijakan Publik Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Muhammad mengatakan krisis kepercayaan masyarakat justru timbul akibat komunikasi dari pejabat pemerintah yang lemah.
“Saya melihat koordinasi kebijakan di kementerian level kabinet yang lemah, banyak pernyataan yang keluar dari pejabat publik seperti menteri tidak terkontrol dan terkoordinasi,” ujarnya saat diwawancarai secara langsung, Jumat (20/6).
Ia juga menyampaikan banyak pejabat publik yang tidak sensitif terhadap suatu isu di masyarakat dan menanggapinya dengan gurauan.
“Banyak pejabat publik yang tidak sensitif terhadap suatu isu, di mana banyak masyarakat merasa relate terhadap suatu isu kemudian tersinggung atas pernyataan-pernyataan yang ditanggapi dengan guyon,” tuturnya.
Buruknya komunikasi dari pejabat publik tersebut akhirnya menimbulkan banyak spekulasi di masyarakat.
“Ini menunjukkan banyak hal, seperti kapasitas kebijakan dan bentuk pemecahan masalah yang bisa diselesaikan secara komprehensif atau tidak,” lanjutnya.
Muhammad menuturkan justru kebijakan yang dibatalkan atau diklarifikasi oleh lembaga lain termasuk hal yang wajar.
“Dari segi kebijakan, saya melihat beberapa kebijakan yang kemudian diklarifikasi atau dibantah kementerian lain bahkan presiden, itu merupakan pola yang wajar di pemerintahan manapun,” ucapnya.
Menurutnya hal tersebut bisa terjadi karena rendahnya sifat sensitif dan koordinasi pejabat publik antar kementerian atau lembaga.
“Menurut saya, faktornya adalah tidak sensitifnya pejabat publik, kurangnya koordinasi kabinet yang seolah tumpang tindih antar kementerian atau lembaga pemerintah yang menyebabkan perlu dipertanyakannya kapasitas kebijakan tersebut,” ucapnya.
Ia juga mengatakan butuh bukti dan fakta yang jelas untuk menyimpulkan buruknya komunikasi pejabat publik disebabkan oleh kesengajaan atau konspirasi semata.
“Saya sebagai akademisi tidak bisa melihat kebijakan publik melalui klaim atau model konspirasi alias analisis harus sesuai fakta. Untuk konspirasi atau kesengajaan tidak bisa kita sebutkan kalau tidak ada bukti pendukung, sedangkan bukti pendukungnya sulit untuk dicari,” ujarnya.
Rendahnya sifat sensitif
Muhammad mengatakan kurangnya sifat sensitif pejabat publik terhadap masyarakat dapat disebabkan karena kecenderungan pemerintah yang otoritatif.
“Alasan nyelenehnya pernyataan dan belum mumpuninya kapasitas kebijakan bisa terjadi salah satunya karena kecenderungan pemerintah yang semakin otoritatif, artinya mereka kembali kepada model-model feodal zaman dulu,” terangnya.
Lanjutnya, pejabat publik sering tidak melibatkan masyarakat dalam membentuk sebuah kebijakan.
“Seringkali rakyat hanya diberitahu saat keputusan sudah final, secara administratif pejabat bisa mengklaim bahwa mereka sudah melakukan konspirasi publik, dan banyak hal lewat partisipatif,” ujarnya.
Pola tersebut, sambungnya, sah secara administratif, tetapi menimbulkan persoalan secara subtansif.
“Secara administratif, hal itu sah-sah saja karena sudah ada representatif dari publik, tapi apakah secara substansif sudah benar? Nah, itu yang perlu dikritisi,” tuturnya.
Ia menuturkan hal tersebut menyebabkan terbentuknya jarak antara pejabat publik dengan masyarakat.
“Pejabat publik merasa mempunyai kuasa lebih atas rakyat, sehingga bisa dilihat bersama seringkali mereka merasa di atas awan dan melihat isu masyarakat ‘ah biasa saja’ atau terkesan otoritatif,” lugasnya.
Muhammad menuturkan jika pemerintah terus bersikap otoratif, maka masyarakat semakin anti-pemerintah bahkan skeptis.
“Otoritatif jauh lebih mudah daripada partisipatif, maka ketika pemerintah terlihat semakin otoritatif, efeknya ya masyarakat bisa jadi semakin anti pemerintah bahkan skeptis terhadap pemerintah,” jelasnya
Mahasiswa Program Studi (Prodi) Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) UIN Walisongo, Rizal (bukan nama sebenarnya) mengatakan ada kesamaan pola ketika pemerintah menginstruksikan sebuah kebijakan untuk masyarakat.
“Ketika membuat kebijakan kemudian isu tersebut naik dan belum tuntas, pasti akan ditutupi dengan isu berikutnya tanpa akhir yang jelas. Saya yakin hal tersebut sudah terkonstruksi untuk membentuk masyarakat yang bodoh dan dungu terhadap pemerintah,” ucapnya.
Ia mengatakan bahwa komunikasi yang dilakukan pemerintah juga bersifat defensif yang akhirnya menimbulkan sentimen publik.
“Komunikasi yang dilakukan pemerintah dalam merespon suatu hal seringkali bersifat defensif, seperti menyalahkan dan mengecilkan pihak lain. Hal tersebut kemudian menimbulkan sentimen, mendorong kontroversi, dan akhirnya menjadikan kegaduhan publik,” ujarnya.
Rizal menuturkan seharusnya pemerintah menanggapi dengan komunikasi yang empati dan responsif.
“Alih-alih defensif yang justru menurunkan kepercayaan masyarakat, seharusnya pemerintah merespon dengan komunikasi yang empati dan responsif serta merangkul semua pihak,” pungkasnya.
Reporter: Dinda Alfiani
Editor: Azkiya S.A.