
Amanat.id– Proyek ambisius dari Kementerian Kebudayaan untuk menulis ulang sejarah Indonesia dengan tone lebih positif banyak menuai kritik dari masyarakat dan kalangan akademisi, Rabu (11/6/2025).
Menanggapi hal tersebut Sekretaris Jurusan (Sekjur) Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo sekaligus dosen bidang Hermeneutika, Filsafat Ilmu, dan Paradigma, Badrul Munir Chair memberikan tanggapan bahwa proyek penulisan ulang sejarah Indonesia sarat akan kepentingan.
Menurutnya sejarah memang dapat ditulis ulang, namun akan menjadi masalah jika suatu pihak memberi label “resmi.”
“Sejarah memang harus ditulis ulang oleh banyak pihak secara objektif, tapi ketika suatu pihak melabeli mana versi yang “resmi” dan mana yang “tidak resmi”, itu jadi masalah,” jelasnya.
Menurutnya label “resmi” pada proyek penulisan ulang sejarah dapat menyebabkan masalah serius di kemudian hari.
“Dalam konteks ilmu pengetahuan, misalnya teori Hegemoni Kekuasaan, penguasa memang ingin menulis ulang sejarah sesuai dengan kepentingan mereka dan dibahasakan ulang. Itu yang jadi problem ketika ada label resmi,” sambungnya.
Ia juga menyampaikan dengan waktu kurang dari satu tahun, proyek tersebut termasuk terburu-buru dan sarat akan kecurigaan.
“Tidak sampai satu tahun, proyek ini bisa dikatakan tergesa-gesa. Dari pengalaman sebelumnya, seperti ketika Soeharto melakukan Desoekarnoisasi dengan menghapus jasa-jasa Soekarno dalam sejarah. Kita patut curiga, pertama ada misi apa,” sampainya.
Tone Positif dan Risiko Glorifikasi
Ia mengkritik pendekatan yang digunakan dalam proyek penulisan ulang sejarah, yaitu penggunaan tone positif dan fokus pada pencapaian.
“Fadli Zon mengatakan proyek ini merupakan penulisan ulang sejarah dengan tone positif yang fokus pada pencapaian, bukan pada sejarah-sejarah kelam. Padahal kalau fokus pada pencapaian nanti bisa terjebak diglorifikasi yang baik-baik diagung-agungkan, sementara yang kelam disembunyikan,” jelasnya.
Badrul juga mempertanyakan urgensi memasukkan pemerintahan Prabowo Subianto yang bisa menjadi bentuk glorifikasi.
“Apalagi proyek ini mencakup pemerintahan Prabowo Subianto, apa pentingnya menulis misalnya sejarah yang mungkin belum menjadi sejarah, baru beberapa tahun menjabat sudah dianggap bagian penting dari sejarah Indonesia,” katanya.
Badrul menegaskan bahwa pilihan istilah dapat menggeser makna, bahkan sebelum bicara metodologi.
“Menulis sejarah dengan tone positif berarti menggunakan istilah yang bisa membalikkan posisi, penjahat jadi pahlawan, atau sebaliknya. Padahal kita belum bicara soal metodologi atau sudut pandang,” katanya.
Menurutnya dengan menyatukan banyak sejarawan dalam waktu singkat dapat menyebabkan sulit menyatukan pendapat.
“Mengumpulkan sejarawan dengan berbagai latar belakang dan keahlian yang berbeda dalam satu tim, pasti akan ada garis besar apa yang boleh dan tidak boleh dicantumkan, semua ini tergantung penggagasnya,” sambungnya.
Ia juga mengkhawatirkan masyarakat awam yang belum paham akan motif proyek penulisan ulang sejarah Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan.
“Bagi masyarakat awam, mereka biasanya tidak mengerti motif di balik proyek seperti ini. Mereka hanya tahu hasil akhirnya, siapa pahlawan, siapa penjahat, itu ditelan mentah-mentah, mereka tidak mengkritisi metode atau landasan epistemologisnya,” jelasnya.
Badrul berharap mahasiswa dapat menjadikan proyek ini sebagai objek riset, bukan hanya bahan kritik.
“Bagi mahasiswa yang mempelajari teori-teori hegemoni seperti Michel Foucault maupun Derrida, seharusnya bisa memanfaatkan proyek ini sebagai objek penelitian. Selain kritis dalam hal mengkritik, kritis juga bisa dilakukan secara ilmiah,” harapnya.
Mahasiswa Akidah dan Filsafat Islam (AFI) Romy, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap proyek penulisan ulang sejarah Indonesia.
“Mereka memaksa dengan legitimasi kata negara dalam penulisan sejarah, karena bisa jadi sejarah itu justru terdistorsi,” katanya saat diwawancarai, Kamis (12/6).
Ia mengatakan Menteri Kebudayaan seakan memaksakan kebenaran tunggal dalam proyek ini.
“Fadli Zon mungkin memaksa pada kebenaran tunggal. Seharusnya sejarah itu bergerak linear,” jelasnya.
Ia juga mengatakan bahwa sejak awal proyek ini sudah menunjukkan arah keberpihakan.
“Sebelum adanya tone positif sudah jelas mereka ingin menutupi kebenaran lain karena dari awal sudah bilang sesuai apa kata negara,” ungkapnya.
Romy merasa pesimis terhadap produk proyek penilaian ulang sejarah Indonesia.
“Saya tidak berharap apa-apa, tidak berarti. Justru kalau bisa dibatalkan saja penulisan ulang sejarah ini,” pungkasnya.
Reporter: Ahmad Kholilurrokhman