Kampus hijau, istilah ini semakin populer di Indonesia atau yang biasa dikenal sebagai “Green Campus“. Berangkat dari kurangnya perhatian masyarakat pada isu ekologi, banyak orang yang masih abai terhadap lingkungan.
Dilansir dari jurnal yang berjudul “Perempuan Mengabdi: Karya Inovasi Ekonomi di Masa Pandemi”, tertulis bahwa evaluasi dan introspeksi setiap kampus tentang keaktifan pengelolaan sampah dan pelestarian lingkungan seharusnya menjadi salah satu program utama.
Di tengah hiruk pikuk dunia modern, kampus-kampus didorong untuk menjadi teladan dalam pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan berkelanjutan.
Perlu kita ketahui bahwa kualifikasi kampus hijau bukan sekedar predikat, melainkan sebuah komitmen dan transformasi. Kampus hijau idealnya menjelma menjadi ekosistem yang ramah lingkungan, inklusif, dan kondusif bagi seluruh civitas akademika.
Untuk mewujudkan kelestarian, kampus berlomba-lomba menerapkan gagasan ramah lingkungan. Ditinjau dari buku Budhi Muliawan Suyitno yang berjudul “Model Program Kampus Hijau Perguruan Tinggi Swasta” (2023), secara umum terdapat beberapa kualifikasi yang menunjukkan bahwa suatu kampus dikategorikan sebagai kampus hijau.
Kampus harus memprioritaskan pembangunan fasilitas yang lengkap dan aman guna menunjang kegiatan perkuliahan dengan nyaman. Fasilitas itu mencakup kelas perkuliahan, laboratorium, perpustakaan, akses transportasi menuju kampus, serta alat penunjang lainnya.
Perbandingan antara luas bangunan dengan luas tanah terbuka hijau haruslah memenuhi standar pelestarian lingkungan hidup. Dengan terpenuhinya salah satu standar tersebut, suatu kampus dapat disebut dengan green campus.
Penanganan limbah juga harus dilakukan dengan baik dan benar. Sampah padat dibuang atau dialihfungsikan, sedangkan sampah cair didaur ulang guna penyiraman kebun dan tanaman.
Sementara itu, air permukaan dan tadah hujan langsung dapat didaur ulang menjadi air minum bersih untuk semua orang yang tinggal di kampus dan sekitarnya.
Kualifikasi lainnya mengenai pengelolaan sumber daya. Dalam memenuhi kualifikasi ini, ada yang dikenal dengan fasilitas Energi Bersih Terbarukan (EBT), yang sudah menghasilkan listrik langsung pakai. Pembangkit EBT termasuk generator magnet permanen, generator polisi tidur (speed bump), panel surya, kincir angin, dan lain sebagainya.
Pengurangan penggunaan kertas melalui digitalisasi administrasi dan penggunaan kertas daur ulang juga turut berkontribusi dalam pelestarian sumber daya alam.
Tak lupa dengan pengelolaan sampah yang efektif dan berkelanjutan menjadi cerminan budaya dan tanggung jawab civitas akademika. Sistem 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dan daur ulang sampah organik menjadi komitmen nyata dalam meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan.
Maka dari itu, untuk mewujudkan green campus yang mendukung kesehatan dan kelestarian lingkungan, seluruh civitas akademika harus saling bekerja sama.
Kampus hijau bukan sekedar perjalanan jangka panjang atau sebatas tujuan. Kampus hijau tidak dapat diukur rentang waktunya. Sebaliknya, harus selalu ada inovasi sesuai dengan perubahan lingkungan dan kemajuan teknologi untuk menjadi lebih baik lagi.
Penulis: Nadia SA.
Editor: Kiki Yuli