
Indonesia Emas 2045 menjadi agenda besar negara. Gagasan ini muncul bersamaan dengan genapnya Indonesia berumur satu abad. Agenda besar ini juga merupakan bentuk representasi untuk menyambut surplus sumber daya manusia. Pada rentang tahun 2016-2045 Indonesia digadang-gadang akan mengalami peningkatan usia produktif.
Maka dari itu, pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan membuka lapangan pekerjaan baru. Dengan harapan, dapat tercapainya generasi emas di tahun 2045. Namun, Visi Indonesia Emas 2045 ini menjadi salah satu pemicu dari kegilaan pemerintah. Ribuan hektare lahan dibabat guna diubah fungsinya menjadi tambang maupun perkebunan.
Pendapatan yang melimpah dari hasil alam telah membuat pemerintah terhipnotis berada di dalamnya. Seperti yang terbaru, Presiden Prabowo menyatakan usulannya untuk menambah lahan kelapa sawit dan tidak perlu khawatir soal deforestasi. Ia menganggap bahwa sawit juga pohon yang juga sama-sama menyerap karbon.
Sawit memanglah pohon, tetapi definisi dari hutan sendiri bukan hanya diisi oleh satu jenis tanaman. Hutan menjadi rumah dari keanekaragaman hayati. Keseimbangan ekologis ini akan tergantikan oleh tanaman monokultur (sawit). Akibatnya, ekosistem alami hutan akan terganti dan fungsi sejati dari hutan akan terganggu yang kemudian akan berdampak kepada manusia itu sendiri.
Proses alih fungsi lahan sawit juga memiliki dampak yang besar. Pembakaran dan penebangan pohon yang masif akan mengakibatkan terlepasnya karbon yang sudah tersimpan ratusan tahun. Setelahnya, sawit tidak dapat menjalankan tugas sebagai penyerap karbon dan air. Akibatnya terjadi kenaikan suhu dan juga banjir di sekitar perkebunan.
Tentang keuntungan jangka panjang
Pesatnya pertumbuhan populasi penduduk telah mempengaruhi pola konsumsi dan produksi yang ekploratif. Masifnya pemanfaatan alam ini telah menimbulkan dampak bagi kerusakan ekologi.
Niat awal untuk menangani krisis pangan, tetapi malah jadi pemicu krisis yang lebih besar. Perubahan ekologis akan berpengaruh langsung kepada produksi pertanian. Kekurangan air, peningkatan suhu global, serta alam yang mulai sulit ditebak.
Pola ekonomi yang hanya menimbang keuntungan ekonomi jangka pendek. Dengan fokus pada pencapain PDB dan menekan tingkat pengangguran telah terbukti merugikan. Karhutla yang terjadi pada tahun 2015 menjadi bencana ekologi yang membekas bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat Kalimantan Tengah.
Paling terbaru sepanjang tahun 2024 terjadi bencana ekologi di 24 kota atau kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Menurut Walhi Sulsel, dalam rentang bulan Januari hingga Desember terjadi bencana ekologi, seperti kebakaran hutan serta lahan, kekeringan, banjir, puting beliung tanah longsor, banjir bandang dan tanah bergerak. Ditaksir kerugian yang diterima sebesar 1,9 triliun rupiah.
Hasil kajian dari kerja sama antara Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan World resources institute (WRI) Indonesia menyimpulkan bahwa model ekonomi konvensional ini terbukti tidak hanya merugikan alam, tetapi juga berdampak kepada pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Jika, tetap menganut model ekonomi konvensional secara terus-menerus, diproyeksikan ekonomi Indonesia akan mandek di 5,1% hingga tahun 2045.
Jika aktivitas ini terus berlangsung, mimpi Indonesia Emas mungkin terancam gagal. Oleh karenanya, pemerintah harus melakukan transisi dan berkomitmen untuk menjalankan model ekonomi hijau.
Ekonomi hijau didefinisikan sebagai konsep ekonomi rendah karbon, efisien dalam penggunaan sumber daya, dan inklusif secara sosial. Sehingga keanekaragaman hayati dan ekosistem alam dapat terjaga.
Dengan mengaplikasikan model ekonomi hijau yang berperinsip keberlanjutan akan memberikan manfaat ekonomi jangka panjang. Menurut hasil pemodelan yang dilakukan WRI Indonesia, petumbuhan PDB akan menyentuh rata-rata 6,3% pada periode 2025 hingga 2045 dan juga akan membuka 1,7 juta lapangan pekerjaan hijau pada 2045, di mana ini mancakup 38% angkatan baru. Artinya, transformasi ke ekonomi hijau memberikan keuntungan yang didapat tidak hanya dari segi finansial, tetapi juga terjaganya keseimbangan alam.
Dengan kata lain, perekonomian yang tidak memperhatikan keberlangsungan akan jauh dari kata untung. Seperti yang dikatakan Nicholas Stern, keuntungan jangka pendek ini tidak seimbang dengan ancaman kerugian yang didapat.
Mengutip perkataan Prof. Emil Salim, di tahun Indonesia berumur genap 100 tahun nanti, negeri ini harus memastikan bahwa lingkungan masih dapat dengan layak dihuni oleh generasi penerus, meski di tengah perubahan iklim dunia. Pernyataan tersebut mengandung pesan penting. Bahwa kesuksesan negara bukan hanya pada presentase pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga dengan indeks kelayakan untuk ditempati.
Penulis: Naurajiwa
Editor: Hikam Abdillah