Di suatu pagi yang cerah, ketika mentari tak sesedih Indonesia hari ini, kudengar Rocky Gerung lantang berbicara soal kedunguan pemerintah Indonesia. Suara itu bersumber dari smartphone, salah satu teman saya yang sedang asik berselancar di Youtube. Selang beberapa menit, ia menulis story whatsapp; kutipan dari ucapan si pembicara yang dianggapnya terbaik.
Di lain waktu, di sebuah taman kampus yang rindang. Kujumpai seorang mahasiswa sedang menonton tayangan ulang program talk show dari salah satu stasiun televisi swasta nasional, yang membahas soal suara generasi milenial di Pilpres 2019. Dahinya berkerut, sesekali senyum dan tawa juga pecah mendengar ucapan-ucapan dari pembicara.
Pemandangan yang sama, saya jumpai di warung kopi ber-wifi, di sekitar perguruan tinggi tempat saya kuliah. Pemuda-pemuda yang kuketahui adalah mahasiswa, beberapa sedang asik mengikuti pembahasan isu-isu terkini, di smartphone atau leptopnya.
Ada yang menarik dari gejala ini jika kita melihat kembali apa yang dikatakan oleh Karl Max (1818-1883). Katanya, “orang yang menguasai zaman adalah mereka yang memegang kunci-kunci produksi.”
Jika mengacu pada ungkapan di atas, di mana posisi mahasiswa dalam transaksi ide, konsep, dan gagasan di Indonesia? Tentu dengan mudah dijawab, bukan sebagai produsen, namun, konsumen.
Entah sejak kapan arus ini mengalir dan menjadi sederas seperti sekarang ini. Ada semacam kegagapan mahasiswa dalam memahami peranannya. Sehingga, ia gagal memproduksi ide, konsep, dan gagasan, merespon kekacauan dan keganasan perpolitikan orang-orang di ibu kota.
Suara segelintir mahasiswa terlalu lirih untuk didengar. Tak usah muluk-muluk sampai ke pemerintah, masyarakat saja mungkin tidak tahu.
Sebenarnya, dalam hal ini organisasi-organisasi mahasiswa yang berbangga dengan cabangnya di seluruh Indonesia bahkan di beberapa belahan dunia, mempunyai kans besar untuk melakukan perbaikan. Namun, gerakan atau ide-ide itu tak pula terdengar.
Ironi yang baru-baru ini terjadi adalah fenomena deklarasi dukungan alumni dari berbagai perguruan tinggi kepada 01 atau 02. Deklarasi yang dinilai Farid Gaban (Pemimpin Redaksi Geotimes.com) sebagai penghianatan kaum intelektual juga tak ada respon dari aktivis mahasiswa sekarang.
Atau malah mahasiswa juga berpendirian sama dengan senior-seniornya, masuk dalam kotak yang berlebel cebong dan kampret, larut dalam ilusi yang diciptakan oleh oposisi dan petahana?
Saya tidak ingin mengucapkan, selamat jalan pada aktivis mahasiswa…..