Sebagai seorang jurnalis kampus, kegiatan bolak-balik dari gedung Rektorat adalah hal yang biasa dilakukan. Di ruang tunggu Gedung Rektorat Kampus 1 lantai 2, ada sebuah almari dengan kaca transparan, berisi puluhan piala penghargaan yang diperoleh. Mengapa almari piala penghargaan ditaruh di ruang tunggu?
Tidak lain adalah ingin mendapatkan sebuah pengakuan dari siapa yang berkunjung ke Gedung Rektorat, bahwa dengan piala penghargaan yang di dapat oleh kampus maka ia akan dianggap ada dan menuju ke yang terbaik, atas raihan yang sebegitu banyaknya.
Haus pengakuan kiranya tidak hanya berhenti di situ saja. Dan keinginan untuk diakui kiranya memang sebuah hal yang lumrah bagi setiap kampus. Seperti beberapa perguruan tinggi bercita-cita menjadi kampus yang diakui dan masuk dalam kategori Green University (Kampus Hijau), Kampus moderasi, hingga World Class University.
Kemudian upaya-upaya apapun dilakukan oleh masing-masing kampus, untuk mendapat rekor seperti itu. Namun terkadang pihak kampus terlena dengan memulai perbaikan-perbaikan yang sebenarnya kurang terlalu prioritas dalam pemenuhan kebutuhan mahasiswa. Tapi demi untuk memenuhi indikator mencapai rekor yang telah disepakati, akhirnya kampus hanya fokus pada indikator penilaian atau pemeringkatan pada rekor menuju, misalnya World Class University. Meskipun pada akhirnya substansi pendidikan itu seringkali terlihat diabaikan.
Dalam pandangan Mahmud Junus melalui buku berjudul Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (1979) menjelaskan: “Pendidikan Islam adalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan bertujuan akhlak yang mulia dengan tidak melupakan kemajuan dunia dan ilmu pengetahuan yang berguna untuk perseorangan dan kemasyarakatan.”
Meskipun buku itu tergolong terbitan lama, kiranya masih cukup relevan untuk mengetahui dasar hadirnya pendidikan itu apa.
Saat diamati dari yang diungkapkan Mahmud Junus, tak ada sebuah kata rekor, pengakuan, penghargaan. Tapi memang dalam sejarahnya sebuah pendidikan Islam subtansinya merujuk pada meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, dengan peningkatan ilmu pengetahuan. Atau kalau diamati kembali nyaris sama tujuannya dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Meskipun memang pada dasarnya rekor-rekor seperti itu, dijadikan ukuran supaya ada visi yang jelas. Hingga ada tahapan-tahapan untuk mencapainya. Namun di sisi lain, ketika kita berbicara rekor atau penghargaan kepada kampus, maka dapat diartikan rekor tersebut adalah salah satu bonus.
Dalam konteks ini bonus didapat karena kinerja maksimal dalam memajukan pendidikan. Dengan menyelesaikan problem akar rumput di kampusnya sendiri. Dan berupaya mengembangkannya secara maksimal tanpa melupakan mahasiswa dalam penentuan kebijakan dan lainnya. Sebab pelayanan terhadap mahasiswa kiranya adalah sesuatu yang sangat prioritas, demi meningkatkan peradaban ilmu pengetahuan di Indonesia. Bukan rekor dan lainnya.
Penulis: M. Shafril