Perdebatan di media sosial kian marak terjadi oleh warganet dari berbagai kalangan. Bahkan, dari banyaknya perdebatan yang muncul itu, tak jarang bermula dari sebuah celetukan ringan yang kemudian berakhir menjadi perdebatan panjang.
Orang-orang di media sosial menyebutnya sebagai kaum open minded dan kaum mind blowing. Hendrik Lim mendefinisikan open minded sebagai sikap yang terbuka dan berani berbagi. Sementara mind blowing dimaknai sebagai kaum yang memiliki pandangan berbeda terhadap sesuatu dan cenderung memiliki pandagan yang lebih baru.
Pertikaian antara kaum open minded dengan kaum mind blowing banyak terjadi ketika dua kaum tersebut saling mengukuhkan diri sebagai orang yang paling benar. Bahkan, dalam hal sekecil apapun.
Dari pengertian yang diberikan oleh Hendrik Lim, kita mungkin sepakat bahwa pikiran dan pandangan mereka terhadap suatu permasalahan berdasarkan logika dan pikiran terbuka. Akan tetapi, ada semacam oknum—meminjam istilah hukum—yang kemudian menyulut api pertikaian. Mereka dengan bangga mengakui diri sebagi kaum paling terbuka secara pikiran, padahal kebalikannya.
Bahkan, celetukan ringan pun bisa berakhir menjadi perdebatan panjang yang justru merugikan banyak pihak. Dari pertikaian tersebut, jelas ada sebuah kesalahpahaman pemikiran yang diusung oleh masing-masing kubu sebagai bentuk dari cacat logika.
Cacat Logika sebagai Pemicu Perdebatan di Media Sosial
Browne dan Keely (2007) mendefinisikan cacat logika sebagai kesalahan berlogika yang berasal dari asumsi keliru, sebagai cara untuk mengelabuhi orang lain menggunakan nalar yang menyesatkan dan seolah mendukung suatu kesimpulan secara logis.
Beberapa cacat logika yang sering terjadi, baik di media sosial maupun kehidupan sehari-hari antara lain menyerang orang yang memiliki pendapat berbeda (ad hominem); mengungkit masa lalunya (to quoque); menilai lawan dengan argumen yang tidak sesuai—biasanya dengan kata “baperan” (strawman); latah mengikuti opini yang sedang trending atau yang dilontarkan orang terkenal (appeal to popularity or authority); mencocokkan dua isu berdasarkan pendapat pribadi atau cocoklogi (false cause).
Ada juga yang membenarkan pendapat yang sudah ada sejak lama padahal belum tentu benar (bandwagon); hanya menyajikan dua sudut pandang (false dichotomy)—yang bukan A, pasti B; mengabaikan opini atau informasi yang tidak sesuai dengan pendapatnya (cherry picking); skeptis pada hal-hal yang tidak diketahui cara kerjanya (personal insecurity); dan meminta orang lain menunjukkan bukti bahwa pemikirannya keliru (burden of proof)—padahal seharusnya dia yang membuktikan kebenaran pendapatnya.
Dari pertikaian tersebut, dapat dipahami bahwa orang-orang akan selalu meneguhkan idealisme mereka sebagai orang paling benar, meskipun dalam kenyataannya apa yang dilakukan adalah sebuah kesalahan.
Kita juga tidak bisa memberikan stigma negatif kepada kedua belah pihak yang sama-sama mengaku paling benar. Yang perlu kita lakukan adalah bagaimana kemudian kita menjadi pihak yang tak terlibat dari pertikaian-pertikaian tidak penting di media sosial.
Penulis: Rizkyana Maghfiroh