Dewasa ini, kita sering menyaksikan tren yang cukup meresahkan, kepercayaan kepada para ahli dan pakar di berbagai bidang mulai menurun di kalangan masyarakat, termasuk dalam diskusi publik. Dengan alasan, pengetahuan dan pembelajaran dapat dicari dan diakses di internet. Hal ini mengakibatkan pandangan para ahli sering diabaikan dan malah memercayai teori konspirasi atau yang tidak fakta.
Seorang ahli internasional, Tom Nicols menyebutnya dengan “Kematian Kepakaran”. Nicols melihat, hal ini sebagai ancaman bagi ideologi suatu negara, yang berfokus dalam kepentingan bersama dengan mengambil keputusan berdasarkan pengetahuan para ahli.
Menurunnya kepercayaan kepada pakar bukan tanpa alasan. Dengan ujung jari dan sekali klik, kita bisa mencari segala sesuatu, mulai dari cara menambal ban hingga menelusuri teori-teori awal terbentuknya alam semesta. Ini memberikan kesan di mana siapa pun dapat menjadi ahli dalam bidang apa pun, tapi juga ada masalah di mana tidak semua informasi itu benar.
Perasaan bisa mengakses informasi apa pun, kadang kala membuat seseorang merasa tidak membutuhkan bantuan pakar dan meremehkan sebuah pengalaman.
Hal tersebut bisa berbahaya karena pengetahuan ahli didasarkan pada penelitian, pengalaman bertahun-tahun, dan proses verifikasi yang ketat, sedangkan informasi di dalam internet, yang belum tentu benar, dengan berbagai sudut pandang, dapat menyesatkan dan membahayakan pengambilan keputusan.
Hierarki Kepakaran dalam Demokrasi
Di sisi lain kita memiliki pandangan alternatif dari sudut pandang seorang filsuf, Jacques Ranciere yang menolak hierarki kepakaran dalam konteks demokrasi. Ia mengusulkan gagasan demokrasi radikal di mana kesetaraan merupakan prinsip dalam setiap proses demokrasi.
Ranciere menolak hierarki kepakaran karena dianggap menciptakan ketidaksetaraan dalam proses demokratis. Menurutnya, setiap orang memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, terlepas dari latar belakang pengetahuan atau keahliannya.
Pendekatan ini menciptakan perseteruan antara dua konsep teknokrasi dan politik representasi. Dalam teknokrasi, para ahli memainkan peran dominan dalam pengambilan keputusan. Ini didasarkan pada asumsi bahwa para ahli memiliki pengetahuan yang lebih baik dan lebih mampu membuat keputusan yang tepat.
Sementara itu, dalam politik representasi, kepentingan rakyat ditegakkan. Setiap orang, terlepas dari keahliannya, memiliki suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan.
Di satu sisi, kita mengakui pentingnya pengetahuan ahli dalam membuat keputusan yang berinformasi dan berdasarkan fakta. Kita juga mengakui pentingnya kesetaraan dan partisipasi semua warga dalam proses demokratis.
Bagaimana kemudian kita bisa menemukan keseimbangan antara dua nilai ini?
Salah satu cara untuk menjembatani kesenjangan ini adalah dengan meningkatkan literasi informasi dan pendidikan kritis. Jika masyarakat memiliki kemampuan untuk mengevaluasi informasi secara kritis dan memahami pentingnya keahlian, maka mereka dapat membuat keputusan yang lebih berinformasi. Pendidikan kritis tidak hanya mengajarkan orang untuk mencari informasi, tetapi juga untuk mengevaluasi sumber informasi, memeriksa keakuratan dan relevansinya, serta memahami konteks yang lebih luas.
Selain itu, para ahli sendiri juga perlu lebih terbuka dan terlibat dengan masyarakat. Mereka harus mampu menyampaikan pengetahuan mereka dengan cara yang mudah dimengerti dan relevan bagi masyarakat umum. Para ahli perlu belajar untuk berkomunikasi dengan baik, mendengarkan kekhawatiran dan pandangan masyarakat, serta menjelaskan mengapa pengetahuan mereka penting dan bagaimana hal itu bisa digunakan untuk kebaikan bersama.
Penulis: Ahmad Kholilurrokhman
Editor: Revina Annisa Fitri